Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memilih Dokter dan Rumah Sakit

Kompas.com - 28/11/2010, 03:33 WIB

Samsuridjal Djauzi

Keluarga saya baru tiga bulan ini tinggal di Jakarta. Kami sebelumnya tinggal di kota kecil dan mempunyai dokter langganan dekat rumah. Dokter tersebut telah mengenal kami sekeluarga dan boleh dikatakan kami sekeluarga bersahabat dengan dokter tersebut. Dia mengenal keadaan kesehatan suami, saya, maupun kedua anak saya. Hubungan kami akrab dan saling percaya. Kami sekeluarga merasa mendapatkan penasihat kesehatan dan sekaligus sahabat dalam memelihara kesehatan keluarga kami.

Keadaan di Jakarta lain. Ibu-ibu cenderung membawa anaknya berkonsultasi kepada dokter terkenal. Untuk itu harus mendaftar jauh sebelumnya. Saya sekarang jadi bingung kenapa teman-teman saya tak berobat saja di dekat rumah. Menurut pendapat saya, dokter telah dididik cukup lama untuk memelihara kesehatan penderita, kenapa kita harus bersusah payah ke dokter terkenal hanya untuk mengobati sakit pilek atau demam misalnya. Sudah tentu jika menderita penyakit yang sulit kita dapat berobat ke dokter ahli.

Apakah di Jakarta masyarakat sudah tak memercayai dokter umum lagi? Kemenakan saya baru saja lulus dokter umum, dan jika saya bandingkan dengan kemenakan saya yang lulus sarjana bidang lain, pendidikan kedokteran tampaknya jauh lebih berat. Untuk diterima di fakultas kedokteran seleksinya juga amat ketat sehingga yang berhasil lulus masuk biasanya adalah mahasiswa yang pintar.

Saya bermaksud mempunyai dokter keluarga dekat rumah saja. Karena pengalaman saya di daerah, mempunyai dokter keluarga lebih baik dalam memelihara kesehatan keluarga. Begitu pula dalam memilih rumah sakit, saya akan mengikuti saran dokter keluarga saya. Mohon pendapat dokter.

N di J

Saya setuju dengan pendapat Anda. Di negeri kita, karena sebagian besar anggota masyarakat membayar biaya berobat dari kantongnya sendiri, maka masyarakat bebas memilih dokter. Sebenarnya pemerintah menganjurkan kita untuk menggunakan layanan kesehatan berjenjang. Kita terlebih dahulu memanfaatkan layanan kesehatan primer, yaitu puskesmas dan praktik dokter umum atau dokter keluarga. Jika penyakitnya cukup sulit, barulah dirujuk ke layanan kesehatan sekunder (dokter spesialis), bahkan jika perlu dirujuk lagi ke dokter konsultan. Pengalaman di Thailand yang menggunakan sistem pembiayaan jaminan kesehatan nasional, ternyata sekitar 80 persen masalah kesehatan masyarakat dapat ditolong di layanan kesehatan primer.

Pendidikan kedokteran di negeri kita tumbuh dengan cepat. Sekarang ini jumlah fakultas kedokteran telah melebihi lima puluh. Namun, setiap fakultas kedokteran mendapat pembinaan dan pengawasan sehingga mutu pendidikannya diharapkan menjadi baik. Untuk menjadi dokter umum yang teregistrasi, mahasiswa fakultas kedokteran baik negeri maupun swasta perlu mengikuti ujian kompetensi dokter umum. Dengan demikian, kita berharap dokter umum kita dari mana pun fakultasnya telah mempunyai kemampuan yang disyaratkan untuk menjadi dokter umum.

Anda benar, pendidikan dokter umum amatlah padat. Seorang mahasiswa kedokteran harus bekerja keras untuk dapat lulus menjadi dokter. Dia tidak hanya harus mempunyai kemampuan memahami penyakit dari segala macam aspek, tetapi juga harus mempunyai keterampilan dan sikap yang mendukung untuk menjadi dokter.

Dokter umum kita yang mengikuti pendidikan lanjutan di luar negeri dapat berkompetisi dengan lulusan dokter negara lain. Bahkan, sepanjang pengetahuan saya, baik pada tingkat ASEAN bahkan juga tingkat internasional, lulusan dokter Indonesia acap kali menempati peringkat pertama. Jadi tidaklah pada tempatnya kalau kita merendahkan lulusan dokter umum kita.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com