Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Gizi sebagai Beban Ganda

Kompas.com - 26/04/2011, 02:49 WIB

ALI KHOMSAN

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 mengungkapkan bahwa jumlah penderita gizi kurang/buruk di kalangan anak balita mencapai 17 persen, sementara jumlah anak gemuk 14 persen. Inilah fenomena beban ganda yang kini dihadapi bangsa kita.

Kondisi gizi masyarakat juga dibebani oleh persoalan anak pendek yang jumlahnya sepertiga anak balita. Tubuh anak laki-laki usia lima tahun lebih pendek 6,7 sentimeter dari standar dan anak perempuan kurang 7,3 cm dari tinggi seharusnya.

Meski persoalan gizi kurang disadari sebagai masalah multikompleks dengan penyebab mulai dari keterbatasan ekonomi, terkendalanya akses pangan, sosio-budaya, hingga kurangnya pengetahuan gizi, faktor utama yang mendasari adalah kemiskinan. Masalah gizi kurang di Indonesia tak kunjung teratasi karena program pengentasan orang miskin juga belum menunjukkan hasil yang signifikan 

Potret kondisi konsumsi pangan bangsa kita masih mengkhawatirkan. Gambaran pola konsumsi pangan kita menunjukkan, hanya karbohidrat dan lemak yang telah melebihi persentase anjuran 100 persen. Yang masih sangat kurang dikonsumsi masyarakat adalah umbi-umbian (51,7 persen), pangan hewani (60,0 persen), kacang-kacangan (69,7 persen), dan lain-lain.

Persoalan konsumsi pangan yang menyangkut aspek kualitas (keragaman) dan kuantitas dapat berdampak buruk pada mutu kesehatan rakyat. Salah satu ciri ketidakbermutuan konsumsi pangan ialah jika masyarakat lebih mengandalkan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan kurang mengonsumsi pangan hewani. Konsumsi riil pangan hewani rata-rata orang Indonesia adalah 7-8 kilogram daging per kapita per tahun, 7-8 liter susu, 3-4 kg telur, dan sekitar 26 kg ikan.

Angka itu masih kalah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam. Jadi, bagaimana kita bisa bersaing dengan bangsa-bangsa maju di dunia kalau di Asia Tenggara saja kita sudah terpuruk.

Pada 1997 WHO Expert Consultation on Obesity sudah memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Apabila tidak ada tindakan berarti untuk mengatasi masalah yang bersifat pandemik ini, jutaan manusia, baik di negara maju maupun negara berkembang, akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs), seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memotret masalah kegemukan dan obesitas di dunia menggunakan data yang sebagian besar diperoleh dari jurnal ilmiah yang terbit dalam rentang waktu 20 tahun (1983-2004). Hampir separuh publikasi yang dijadikan referensi adalah terbitan di atas tahun 2000. Ini menunjukkan, sejak tahun 2000 perhatian terhadap persoalan kegemukan ini makin besar dan jadi agenda riset utama terkait isu kesehatan dan gizi masyarakat. Sampai akhir 2004 WHO berhasil mengumpulkan data dari 97 negara.

Problem yang dihadapi negara-negara maju terkait masalah kegemukan dan obesitas tampaknya lebih berat dibandingkan dengan negara berkembang. Sekitar 50 persen atau lebih penduduk di negara maju mengalami kegemukan, sementara di negara berkembang 20-30 persen. Bahkan di Amerika Serikat hampir sepertiga penduduknya menderita obesitas.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com