Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semur pun Punya "Status Sosial"

Kompas.com - 17/06/2011, 16:11 WIB

KOMPAS.com - Dari hasil silang budaya antara bangsa Eropa dan Indonesia, lahirlah masakan yang disebut semur. Semur, atau smoor dalam bahasa Belanda, memadukan antara teknik memasak orang Belanda dan keahlian meramu rempah-rempah dari Indonesia. Semur yang memiliki citarasa dominan berupa bawang merah, bawang putih, lada, pala, dan kecap manis, akhirnya melekat menjadi tradisi bangsa Indonesia, dan menjadi menu favorit setiap keluarga Indonesia.

Masakan ini lalu menjadi semakin meriah dengan tambahan topping dan bumbu yang disesuaikan dengan selera masyarakat di berbagai wilayah di Nusantara. Bahkan, seiring berjalannya waktu, semur juga dihidangkan sebagai jamuan istimewa dalam tradisi budaya tertentu. Masyarakat Betawi, misalnya, menjadikan semur sebagai salah satu menu yang selalu dihidangkan saat Lebaran dan acara perkawinan. Namun di kawasan Indonesia Timur, nasi kuning saroja yang disajikan dengan semur sudah menjadi makanan sehari-hari.

Oleh karena itu, bisa dibilang semur memiliki grade yang berbeda-beda. Menurut ahli kajian budaya, Dr phil Lily Tjahjandari, semur yang hanya mengolah bahan nabati umumnya menjadi sajian harian di daerah manapun. Misalnya, semur tahu dan semur terung di Jawa Barat, atau semur jengkol di kalangan masyarakat Betawi. Yang menjadi "senjata" dalam hidangan ini adalah kecap, yang membuat rasanya menjadi legit dan kental.

"Dengan bahan yang minimal, kita bisa mendapatkan rasa yang optimal dari semur. Masakan ini tidak berlemak karena tidak pakai santan, dan bisa dikelola dengan protein nabati seperti tempe, tahu, atau telur, yang lebih sederhana," tutur Lily, saat talkshow bertema ”Semur, Turun-Temurun Menghangatkan Hati Keluarga Indonesia” di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dengan kata lain, meskipun semur tersebut tidak menggunakan daging kita tetap mampu menikmati hidangan yang lezat. Semur menjadi hidangan yang "ramah biaya", dan bisa dinikmati oleh kalangan dari status sosial manapun.

"Untuk grade kedua, membuatnya bisa lain lagi. Semur dibuat dengan protein hewani, sehingga bukan hanya menjadi kuliner rakyat tetapi juga dijual di hotel-hotel, seperti semur lidah di Bali," tambah Lily, yang juga Manajer Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Hidangan lain yang memiliki tingkatan-tingkatan seperti ini contohnya nasi uduk di kalangan masyarakat Betawi. Nasi uduk biasa dijadikan menu sarapan, dengan lauk yang sederhana seperti tahu-tempe goreng, juga semur tahu dan semur jengkol. Dalam level yang lebih tinggi, nasi uduk akan disajikan untuk hidangan Lebaran. Nasi uduk disajikan dengan semur dari bahan protein hewani seperti daging kerbau.

Hal inilah yang membuat semur menjadi lebih istimewa daripada hidangan khas Indonesia lainnya seperti soto atau sate. Soto dan sate tidak memiliki sisi identitas budaya seperti semur. "Selain itu soto selalu memakai bahan protein hewani, sehingga menjadi hidangan untuk level yang lebih atas. Nggak ada kan soto yang memakai protein nabati, soto tahu misalnya," tukas Lily.

Hidangan yang bergulir di kalangan rakyat, bagi Lily adalah yang terbaik. Meskipun demikian, baik pula jika kita lebih kreatif dalam mengeksplorasi bahan-bahan yang digunakan. Dengan demikian, grade dari hidangan tersebut bisa ditingkatkan.

Ingin tahu bagaimana cikal-bakal hadirnya masakan semur di Indonesia? Silakan klik Semur, Aslinya dari Belanda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com