Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekali Sarung Tetap Sarungan....

Kompas.com - 07/03/2012, 10:30 WIB

KOMPAS.com - Sarung sungguh akrab dengan kehidupan rakyat di berbagai pelosok Nusantara. Di Flores, sarung menjadi simbol kematangan pribadi perempuan penenunnya. Sarung Bugis menjadi saksi manusia saat mereka lahir, menikah, hingga ajal tiba.

Mari kita berkunjung ke Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sela kesibukan menjajakan dagangannya di Pasar Geliting, Kristina Laer (54) terbahak mendengar pertanyaan di mana ia membeli sarung tenun ikatnya.

”Tidak ada perempuan kami yang membeli sarung. Saya membuat sarung untuk saya sendiri, juga semua orang di pasar ini. Tidak ada pedagang pasar yang kuat membeli sarung tenun ikat,” kata Kristina Laer.

Kegiatan menenun sarung memang sudah membudaya dilakukan oleh kaum perempuan di Flores. Mereka tidak saja membuat lawo (sarung tenun untuk perempuan), tetapi juga luka atau ragi, yaitu sarung untuk laki-laki. Para lelaki bekerja di ladang atau kebun, mengurus ternak, atau melaut bagi yang tinggal di pesisir.

Di Flores, bahkan, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan.

Ungkapan itu juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya. ”Mengenakan sarung terbaik menjadi penting untuk menegaskan kemampuan seorang gadis. Dahulu, gadis yang tidak terampil menenun sarung pasti kesulitan mencari jodoh,” ujar kolektor dan pendokumentasi tenun ikat Flores, Romo Bosco Terwinju Pr.

Perlindungan leluhur
Pemaknaan sarung yang begitu dalam di Flores, khususnya di Kabupaten Ende, dimulai dari proses pembuatannya yang tak lepas dari keyakinan adat. Membuat sarung yang terdiri dari aktivitas menata benang, mengikat motif dan ragam hias, mewarnai hingga menenun umumnya dilakukan atau diawali dengan ritual guna mendapatkan perlindungan leluhur atau sebagai perisai diri dari gangguan roh jahat.

Menenun juga tidak boleh dilakukan dalam suasana duka, seperti yang tergambar pada Selasa (21/2/2012) siang di Nua Pu’u, Kampung Induk Nggela di Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Hari itu, salah satu warga meninggal dunia. Warga pun pantang membuat kegaduhan selama masa berduka, apalagi menenun.

”Keyakinan adat di sini, apalagi yang rumahnya berdekatan dengan rumah duka, kalau mereka memaksa menenun, akan timbul sesuatu yang tidak baik, misalnya benang akan putus. Di hari keempat dari kedukaan, baru mereka dapat menenun kembali,” kata Mosalaki Pu’u Ine Ame (tetua adat), Lambertus Muda (64).

Meski demikian, kepiawaian perempuan Nggela dalam menenun masih tampak dari jemuran sarung di batang bambu, di kiri-kanan rumah adat yang atap ijuknya menjulur rendah. Juga dari sarung yang dikenakan kaum ibu ketika pulang melayat. Itulah sarung tenun ikat terbaik di setiap masanya, sarung dengan motif tradisional yang masih menggunakan pewarna alami.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com