Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjalanan ke Thekerani

Kompas.com - 22/06/2012, 17:55 WIB
Halo Prof

Konsultasi kesehatan tanpa antre dokter

Temukan jawaban pertanyaanmu di Kompas.com

KOMPAS.com - Seperti biasa, hari Senin bagiku selalu dimulai dengan menaiki mobil four wheel drive (4WD), meluncur ke jalan tak beraspal dari kota kecil Thyolo menuju perkampungan Thekerani, tempat dimana aku bekerja hampir setiap hari sepanjang minggu.

Seperti orang Asia kebanyakan, setiap kali membayangkan Afrika yang muncul di benakku adalah sebuah daerah yang kering dan tandus, dengan cuaca yang panasnya minta ampun, dan aneka satwa liarnya. Tak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya bahwa di Afrika juga ada musim dingin.  Meski tak ada salju, namun selama musim dingin suhu di sini bisa mencapai kisaran antara 10-15 derajat Celsius. Itu cukup dingin untuk membuat darah tropisku membeku. Dan aku tak mempersiapkan apa-apa untuk menghadapi kondisi seperti ini.   

Jaket yang kubeli beberapa minggu lalu di sebuah pasar loak terasa hangat membungkus tubuhku, namun tetap tak mempan melawan terpaan angin musim dingin yang terasa menusuk. “Semakin hari cuaca terasa semakin dingin..” gumamku sambil menggosok-gosokkan kedua telapan tangan, mencoba mengusir dingin–meski hanya beberapa saat.

Itulah kenapa, setiap kali melakukan perjalanan menuju Thekerani, aku sering tertidur dan bermimpi bahwa aku sedang berbaring sambil bermalas-malasan di atas sebuah ayunan di Pulau Hoga, Indonesia, berjemur di bawah terik  matahari tropis dengan iPod yang memutar lagu-lagu menghayutkan dari band favoritku Maliq&D’Essentials. Namun jalan yang bergelombang selalu membuatku terbangun dari mimpi indah dan membawaku kembali ke alam nyata – ke sebuah mobil yang sarat muatan dan sebuah kotak berat di atas pangkuanku.

Setiap kali melakukan perjalanan ke Thekerani, mobil ini memang selalu sarat muatan. Selain para perawat dan petugas kesehatan, mobil juga dijejali dengan kotak-kotak berisi obat-obatan penting dan antiretroviral (ARVs) – obat untuk penderita HIV, yang kami terima dari Kementrian Kesehatan Malawi. Hingga hanya tersisa sedikit ruang bagiku untuk duduk dan meregangkan persendian.

Aku merasa seperti di dalam kaleng sarden!” seruku ketika salah seorang perawat menanyakan pendapatku tentang perjalanan ini. Dia tertawa mendengar jawabanku.

Perjalanan menuju Thekerani selalu membuatku terpesona. Kami melewati hamparan perkebunan teh yang sangat luas berpagar pohon-pohon kacang macadamia yang berjajar dengan rapi. Kami melihat wajah-wajah penasaran para pemetik teh yang selalu melambaikan tangan setiap kali melihat kami lewat di sana. Sepanjang perjalanan, mobil harus berhenti beberapa kali di pusat-pusat kesehatan berbeda untuk menurunkan para petugas di tempat ‘dinas’ masing-masing. Aku selalu mendapat giliran terakhir diantar ke tempat tugas. Meskipun lokasinya berbeda, namun pemandangan yang kutemui di pusat-pusat kesehatan selalu sama. Akan selalu ada kerumunan pasien memegang kartu kendali berwarni-warni – alat yang kami gunakan untuk memantau kondisi pasien yang sedang menjalani pengobatan HIV – yang mengantri untuk mendapatkan jatah ARV mereka. Biasanya setiap pasien akan mendapatkan pasokan ARV untuk satu sampai tiga bulan,  tergantung kondisi kesehatan dan stok obat yang tersedia di klinik bersangkutan.   

Biasanya, begitu sampai di Thekerani, aku langsung menuju rumah tempatku menginap untuk meletakkan barang-barang bawaan pribadi, melepaskan penat setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan, serta mempersiapkan diri untuk menghadapi hari-hari sibuk yang sudah menunggu. Namun, ada juga saat-saat di mana aku tak bisa melakukan itu semua karena harus sesegera mungkin menuju pusat kesehatan.

Di Thekerani, aku merupakan dokter satu-satunya. Sisanya adalah perawat dan staf dari Kementerian Kesehatan (MoH). Medecins Sans Frontieres (MSF) membantu MoH dalam memberikan pelayanan kesehatan di derah-daerah untuk pasien HIV dan tuberkulosis (TB) mulai dari pusat kesehatan di tingkat distrik hingga pedesaan.

Suatu siang, aku menerima pesan singkat dari perawat di pusat kesehatan: “Pasien bersalin butuh pertolongan darurat, kami menunggu kedatangan Anda di klinik secepatnya!” Untuk memastikan, aku membaca pesan yang kuterima di ponselku itu sekali lagi, dan dengan spontan mengambil tas berisi peralatan medis dan obat-obatan. Bergegas, aku berjalan menuju klinik. Aku berlari-lari kecil untuk segera sampai di sana dan bisa segera menangani pasien tersebut. Adrelin yang berpacu dengan kencang membuatku lupa akan lapar dan rasa sakit di badan.

Pasien yang kutangani tersebut mengalami pendarahan yang sangat parah. Riwayat kesehatannya memperlihatkan bahwa ia sebelumnya mengalami nyeri perut dan tidak menstruasi selama dua bulan. Tes kehamilan menunjukkan bahwa perempuan tersebut memang tengah hamil dan kami curiga ia mengalami kehamilan ektopik (ectopic pregnancy, kehamilan di luar kandungan) – komplikasi kehamilan yang bisa mengancam keselamatan sang ibu. Dalam kasus semacam ini, persalinan tidak bisa dilakukan atau dengan kata lain si ibu tak bisa melahirkan. Kami tak bisa berbuat apa-apa selain menstabilkan pasien tersebut lalu merujuknya ke rumah sakit untuk dioperasi. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com