Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andai Aku Masih Bisa Lakukan Sesuatu untuk Selamatkan Perempuan Itu..

Kompas.com - 11/07/2012, 16:22 WIB
Halo Prof

Konsultasi kesehatan tanpa antre dokter

Temukan jawaban pertanyaanmu di Kompas.com

Rabu, 13 Juni 2012. Di Pusat Layanan Kesehatan Thekerani.

Pekerjaanku sebagai dokter mengajarkanku satu hal:  aku harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Seperti yang terjadi sore itu ketika aku hendak meninggalkan pusat kesehatan. Beberapa orang perempuan datang menggedor pintu, lalu bergegas masuk membawa sebuah tandu kayu yang di atasnya berbaring seorang perempuan paruh baya yang sepertinya sedang sakit parah. 

Kadang, sore hari seperti ini aku tak ingin melakukan apa-apa selain berbaring di sofa sambil menyeruput secangkir kopi kental - sekadar melepas penat setelah bekerja seharian. Namun tentu saja aku tak bisa melakukannya saat ini – saat dimana seorang pasien tengah membutuhkan pertolonganku. Keringat mengucur deras di keningku, sementara aku berusaha menemukan pembuluh darah pasien yang tengah kesakitan itu.

Aku mengecek pembuluh nadinya, yang terasa berenyut begitu kencang. Sesuatu seolah memukul kepalaku dari belakang, mengingatkan bahwa waktu yang kumiliki tak banyak. “Temukan pembuluh darahnya atau tandatangani surat kematian untuknya!”. Pilihan kedua jelas bukan pilihan yang kusuka.   

Setelah tiga kali gagal menemukan pembuluh darah yang menyempit, akhirnya kusisipkan sebuah canule 16G – canule intravena terbesar yang kami miliki di sini – ke pembuluh darah pasien yang terlihat dengan jelas di lengan bagian atasnya. Aku mengambil sampel darah dan menyuntikkan cairan (ringer laktat) melalui infus dalam rentang waktu yang telah diperkirakan ke pembuluh darahnya untuk menggantikan darah yang habis. 

Pasien mengalami pendarahan yang sangat parah sejak tiga hari belakangan. Dia menyangka itu hanya bagian dari siklus menstruasi biasa hingga kemudian dia mulai menggigil sepanjang hari. Sudah sangat terlambat, dia jatuh pingsan di rumahnya, begitu keluarganya bercerita. Saat itulah kemudian mereka memutuskan untuk melarikannya ke pusat kesehatan.

Keluarga itu terus berbicara dalam bahasa Chichewa, bahasa asli Malawi. Andy, penerjemahku, mencoba menenangkan mereka dan menyuruh mereka menunggu di luar ruang konsultasi. Gift, asisten medis, datang membantuku. Dia telah berpengalaman sepanjang karirnya dalam menangani perempuan yang kesulitan dalam proses persalinan. Sore ini, semua orang seolah ditugaskan untuk menyelamatkan nyawa sang pasien. 

Ini bukan kali pertamanya aku menanangi pasien dengan kasus pendarahan seperti ini, namun tetap saja detak jantungku berpacu kencang seperti ketika pertama kali mengobati pasien yang mengalami syok hemoragik (haemorraghic shock – kehilangan darah dengan cepat dan banyak akibat kegagalan perfusi jaringan).

“Kita harus merujuknya ke rumah sakit sekarang.” kataku pada Gift. “Ya, tapi kita tak punya mobil ambulans di sini. Satu-satunya ambulans yang kita punya sekarang sedang membawa mayat dari Thyolo ke Chipo,” jawabnya. “Sial! Paling tidak kita harus menunggu selama dua jam lagi atau lebih hingga mobil itu datang, dan itu akan sangat terlambat!” ujarku pada Gift dengan suara yang sedikit meninggi. Dia memandangku dan mengangkat kedua tanganya. Aku tahu ia juga tak punya solusi apa-apa.

Gift memasang kateter ke dalam saluran kemihnya. Urin berwarna kuning pekat perlahan mengisi selang plastik bening itu. Aku mengambil urinnya sedikit dan melakukan tes kehamilan: dan hasilnya positif! Besar kemungkinan, dia mengalami kehamilan ektopik (kehamilan di luar kandungan) – yang merupakan sebuah mimpi buruk!  Aku melihatnya. Ia tampak menggigil di balik sehelai chitenje yang menutupi tubuhnya. 

Petugas laboratorium datang membawa hasil pemeriksaan darah. Hasil tes memperlihatkan bahwa darahnya dalam kondisi tidak baik. Hemoglobinnya (sel darah yang mengangkut oksigen ke seluruh bagian tubuh) hanya 2.4 g/dl. Dia telah kehabisan darah begitu banyak akibat pendarahan hebat yang ia alami. Angka itu jauh di bawah jumlah hb normal bagi perempuan. Antara hidup dan mati seperti itu, apa yang bisa kau harapkan?

Gift bertanya padaku apa yang harus kami lakukan. Aku tak menjawab. Tepatnya aku tak punya jawaban apa-apa. Ya, apa yang harus kujawab? Sebagai seorang dokter, menyaksikan seseorang tengah sekarat dan mengetahui bahwa seharusnya aku bisa menyelamatkannya, namun tak bisa berbuat apa-apa lagi, merupakan hal paling menyakitkan yang pernah kurasakan. Ingin kutumpukan kesalahan ini pada diriku sendiri, kenapa dunia tidak adil, dan kenapa terkadang hanya sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh manusia. Namun, semua keluh-kesah itu tentu tak akan membuahkan hasil apapun... 

Dari jendela kecil di dinding ruang konsultasi, aku bisa melihat keluarga pasien sedang menatap kami, menunggu pertolongan selanjutnya yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan perempuan itu. Aku meminta Andy menyuruh mereka masuk. Dengan keterbatasan peralatan medis yang kami miliki di pusat kesehatan ini, tak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun aku berharap dengan kehadiran keluarga di sampingnya, si pasien akan merasa lebih baik. Tak ada seorangpun di dunia ini yang ingin hidup sendiri, apalagi ketika mereka sedang meregang nyawa..

Begitu aku hampir selesai menulis surat rujukan, Gift memberitahuku bahwa mobil yang akan membawa pasien ke rumah sakit sudah dalam perjalanan menuju ke pusat kesehatan. Bagus, setidaknya sekarang kami tahu kami sedang menunggu sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa si pasien.

Perempuan itu memang masih sadar, namun kondisi tubuhnya sudah sangat lemah. Suaminya menyeka keringat dan air liur dari wajahya. Aku menatapnya, namun buru-buru melempar pandang sebelum mata kami sempat bersirobok. Dan kemudian satu per satu keluarganya mulai berlutut dan berdoa. Ruangan lalu menjadi hening, dan aku berharap semoga doa mereka didengar dan dikabulkan Tuhan.

Dalam keheningan itu, satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah melihat tetes-tetes cairan infus yang mengalir ke pembuluh darahnya. Keringat menyusup masuk ke mataku. Aku merasakan sebuah sensasi pedih yang menyengat. Sementara hatiku terasa sakit – mungkin inilah yang disebut orang sebagai tumpahan emosi yang dirasakan oleh orang yang tak bisa berbuat apa-apa…

Mereka berdoa dalam bahasa Chichewa dan tak satu katapun yang kumengerti. Namun doa merupakan sebuah bahasa universal dan akupun mengucapkan “Amin” untuk setiap kata yang mereka ucapkan...

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com