Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/07/2012, 11:34 WIB

KOMPAS.com - Mungkin orang akan ngeri melihat reptil buas, seperti buaya dan ular piton. Namun, ketika yang buas itu beralih rupa menjadi tas yang anggun dan sepatu yang manis, giliran penggemar ”fashion” yang ”buas” memburunya.  

Tas kulit reptil buatan Indonesia sebenarnya telah sejak lama mengisi sebagian pasar dunia. Kualitas kulit, desain yang klasik, dan detail kerapihan jahitan tak kalah dengan tas-tas dari rumah butik dunia. Setidaknya itu dimulai oleh tas bermerek Raflo sejak 1992 dengan memproduksi aneka tas perempuan berbahan kulit buaya. Kualitas kulit terkontrol berkat pengelolaan sendiri penangkaran buaya.

Erika Wiradinata bercerita, Raflo merupakan singkatan dari nama kedua orangtuanya, Rachmat dan Flora, yang mendirikan perusahaan sejak 1990. Ayahnya, yang pernah bekerja di sebuah perusahaan otomotif, banting setir terjun berbisnis penangkaran buaya dan menjadi eksportir kulit buaya ke sejumlah negara.

Adalah sang ibu, Flora, yang kemudian ingin berbuat lebih. Menurut Erika, ibunya berpendapat, mengapa tidak mengekspor produk jadi ketimbang hanya mengekspor kulit. Akhirnya, pada 1992, orangtuanya mengembangkan bisnis mereka menjadi produsen aneka tas berbahan kulit buaya dan reptil lain, seperti biawak dan ular.

Langkah ini tentu berefek domino, yakni terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih luas dan membangun identitas produk lokal Indonesia di pasar dunia. ”Ibu yang awalnya mendesain semua tas. Dari total produksi, sebanyak 90 persen untuk pasar di luar negeri, sisanya untuk pasar domestik. Negara utama tujuan ekspor pada awalnya Jepang, lalu meluas ke Eropa, Rusia, dan juga Timur Tengah,” tutur Erika.

Menurut Erika, jenis buaya yang ditangkar di penangkaran di Serang Banten adalah buaya Crocodylus porosus (buaya muara) dan Crocodylus novaeguineae (buaya tawar), yang berasal dari Papua. Mereka kini memiliki sekitar 3.500 buaya dengan kapasitas panen sekitar 30 buaya per bulan. Kulit dari buaya porosus memiliki tekstur dan corak yang terbilang paling cantik, yakni perpaduan antara corak berukuran sedang dengan kecil-kecil halus. Tas dari kulit buaya porosus biasanya dihargai lebih tinggi daripada kulit buaya novaeguineae.

Satu tas berukuran kecil, dengan lebar sekitar 32 sentimeter, bisa berasal dari tiga ekor buaya. Bagian yang diambil biasanya kulit di bagian perut. Buaya yang dipanen untuk membuat tas ini biasanya buaya berusia 2-3 tahun. ”Buaya di usia tersebut memiliki corak kulit yang paling bagus. Semakin tua buayanya, corak semakin besar-besar,” kata Erika.

Sejauh ini, Raflo mempertahankan desain klasik dalam aneka tas tote bag, satchel, dan clutch. Desain klasik tersebut selaras dengan target pasar mereka, yakni perempuan di usia mapan, 40 tahun ke atas. Tas Raflo ini bisa dijumpai di butik di Rasuna Office Park, Kompleks Apartemen Rasuna, Jakarta Selatan.

Ular piton
Kulit ular tak kalah eksotis. Sisik-sisik kulit yang membentuk aneka corak dan gradasi warna memberi dimensi yang sungguh memikat. Salah satu produk lokal tas dan sepatu berkulit ular adalah Pla, yang bisa ditemui di Plaza Indonesia dan Plaza Senayan, Jakarta. Mellissa Soesanto, salah satu pendiri Pla, bercerita, Pla awalnya merupakan bisnis sepatu datar berbahan kulit, baik reptil maupun kulit sapi.

”Saya sangat suka pakai flat shoes (sepatu datar). Dan, sekitar tujuh tahun lalu, kulit reptil itu belum terlalu populer, jadi kami coba produksi flat shoes pada awalnya sebelum akhirnya sepatu wedges, heels, dan tas,” cerita Mellissa.

Tekad Mellissa dan rekannya ketika itu adalah memproduksi produk lokal berbahan lokal yang berkualitas. Pla bahkan kini telah memenuhi permintaan dari berbagai negara, baik dengan merk Pla maupun pemesanan skala besar tanpa merek. Selain memanfaatkan kulit ular piton, Pla juga menggunakan kulit buaya.

Permainan warna yang lincah dan desain yang kasual membuat sepatu dan tas kulit ular dari Pla diminati, mulai dari perempuan berusia remaja hingga dewasa. Harga tas dan sepatu berkulit ular memang lebih terjangkau daripada kulit buaya.

Mellisa menjelaskan, corak kulit ular tergantung jenis ular piton yang digunakan. Pla menggunakan aneka jenis ular piton. Ular piton atau kerap juga disebut ular sanca atau ular sawah memiliki beberapa jenis, di antaranya Python molurus atau piton bodo dan Phyton reticulatus atau piton batik, yang memiliki corak yang cantik.

”Kualitas kulit ditentukan sejak pengulitan, pembersihan, penyamakannya. Jangan sampai ada sisa daging dan lembab sehingga gampang berjamur,” kata Mellissa.

Dari kulit ular yang berkualitas itu lantas pewarnaan memainkan peran yang krusial. Gradasi dan kematangan warna akan berpengaruh pada daya tarik tas dan sepatu. Meski tampaknya sisik kulit ular terasa tipis, daya tahannya ternyata cukup kuat. Sejauh ini, kata Mellissa, tak pernah ada protes pelanggan soal sisik kulit ular yang mengelupas.

Selain sepatu dan tas, Pla kini juga mengembangkan aksesori berbasis kulit, dompet untuk aneka mata uang, dan ikat pinggang. Setiap produk tampak dibuat dengan ketekunan dan ketelatenan.

”Kualitas perajin Indonesia itu sebenarnya bagus-bagus dan telaten. Jika ada pembinaan yang lebih serius, pasti bisa bersaing dengan produk luar,” kata Mellissa.

(Sarie Febriane)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com