Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/01/2013, 19:28 WIB

KOMPAS.com - Perjalanan hidup Lidya Kusuma Hendra bersama ecoXeramix selama 33 tahun bagaikan tanah liat yang dibentuk, dihias, dan kemudian dibakar hingga akhirnya menjelmakan keramik cantik, tahan bentur. Gelombang keramik impor membuat ecoXeramix sempat terempas. Kini, ia bangkit lagi.

Lydia bangkit lagi dengan menambah nilai pada keramik melalui desain kreatif, aman bagi kesehatan, dan ramah lingkungan. Lidya menunjukkan tiga piring keramik besar dengan gambar wayang dan motif batik karya almarhum Iwan Tirta. Tanda tangan almarhum tergores pula di atas keramik itu.

”Sebelum meninggal, beliau mengerjakan proyek desain untuk keramik ini. Masih ada sekitar 190 desain yang tersimpan dan belum dituangkan ke atas keramik,” ujar Lydia menunjukkan tumpukan kertas desain.

Koleksi keramik Iwan Tirta berada di bawah bendera PT Pusaka Iwan Tirta dan diproduksi secara eksklusif oleh ecoXeramix. Sebelumnya ecoXeramix pernah pula bekerja sama dengan pelukis seperti Bimo Chondro dan desainer Sebastian Gunawan. Lukisan Bimo yang penuh warna dan motif tribal Sebastian Gunawan menghias indah perangkat makan, seperti gelas, piring, dan mangkuk. Keramik lantas tidak sebatas fungsi, melainkan media menikmati rancangan motif para desainer.

Keramik-keramik itu diproduksi di pabrik di Kawasan Industri Palm Manis, Tangerang, Banten. Tanah liat dan bahan lain diputar dalam ball mill, dicetak, digosok untuk dihaluskan, baru kemudian didekorasi dengan dilukis tangan atau cetakan. Terakhir, lempung yang sudah berhias dibakar dalam tungku bersuhu tinggi ratusan derajat. Lydia menggunakan tanah liat Indonesia.

Aman dan ramah lingkungan
Keramik yang digunakan sebagai perangkat makan harus aman bagi kesehatan. Keamanan itu bergantung pada pemilihan bahan, cat untuk hiasan, dan teknik pembakaran. Untuk menambah nilai dari keramiknya agar dapat bersaing, Lydia mengusung konsep ecoXeramix. Keramik yang ramah lingkungan dimulai dengan cara eksploitasi material agar tidak meninggalkan kerusakan besar seperti lubang-lubang raksasa, pengurangan energi dalam pembakaran, dan hasil keramik yang mudah terurai sehingga tidak menciptakan sampah padat baru.

”Kami sudah riset lima tahun ini untuk memilih bahan dan cara pembuatan yang tepat agar keramik lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

Keramik yang mudah terurai masih memiliki pori sekalipun padat. Ini ditentukan pemilihan komposisi bahan dan suhu pembakaran yang tepat. Semakin tinggi suhu pembakaran, keramik semakin padat atau mengecil pori-porinya. Bekerja sama dengan konsultan ahli kimia, Lydia mencoba agar keramik cukup padat dan kuat, aman sebagai alat makan, tetapi masih menyisakan pori agar lebih mudah terurai di alam. Energi pun lebih hemat karena suhu pembakaran lebih rendah.

”Kalau suatu saat keramik ini pecah dan harus dibuang, lama-kelamaan terkena air akan terurai dan kembali menjadi tanah,” ujarnya.

Jaya dan lalu terpuruk
Beragam upaya guna menambah nilai itu bagian dari strategi agar tetap kompetitif di pasar keramik yang sekarang dibanjiri keramik china. ”Saya bukan antikeramik china, lho. Kita yang harus berpikir dan berupaya keras agar bisa bertahan dan unggul. Saya ingat, dulu saat pameran, biasanya gerai China hanya 1-2 dua buah. Sekarang, mereka mendominasi ruang pameran,” ujarnya.

Produk ecoXeramix yang termasuk pabrikan menengah sempat merasakan masa keemasan. Pabrik itu didirikan Lydia dengan dua rekannya, Willian Tan dan Anwar Tan, di Surabaya dengan nama Vanda Craft 33 tahun lalu. Mereka lalu pindah ke kawasan Industri Palm Manis, Tangerang.

Sejak awal, Lydia yang bertanggung jawab mengembangkan produk. Perangkat makan, celengan, dan keramik dekorasi diciptakan dalam beragam bentuk kreatif. Ada bentuk sapi lucu yang laku keras, ayam jantan, jagung, hingga beragam hiasan terinspirasi motif tradisi dan ikon budaya berbagai daerah di Indonesia. Salah satu ciri desain Lydia ialah keramik yang penuh warna, ceria, dan modern.

Pada masa jayanya, sekitar 8 kontainer keramik diekspor setiap bulannya ke sejumlah negara Eropa, Asia, dan Amerika. Desain juga disesuaikan dengan kekhasan budaya negara itu. Di dalam negeri, produk pabrikan itu dapat ditemui di department store. Produksi saat itu berkisar 200.000-250.000 keramik per bulan dengan pekerja terlatih sekitar 500 orang.

Krisis ekonomi berkepanjangan, membuat dua rekan Lydia keluar dari bisnis. Lalu disusul serbuan keramik china. Lydia yang mencintai keramik memutuskan mempertahankan usaha yang sudah memberikan penghidupan kepada karyawan.

Ruang-ruang produksi yang dulu ramai kini sepi. Produksi pabrikan itu turun drastis hingga kini hanya 10.000-50.000 keramik per bulan yang umumnya berupa pesanan dan penjualan lewat pameran. Tungku- tungku pembakaran (kiln) yang menggunakan gas pun tak selalu menyala lagi karena biaya langganan gas terlalu besar.

Pada satu titik, untuk tetap memberikan penghidupan kepada para pekerja yang setia dengan keramik, mereka membuka rumah makan Dumpit. Sebagai kenang-kenangan, para pelanggan setia bisa mendapatkan cangkir dan tempat lada berbentuk miniatur restoran itu.

Dilirik IKEA
Produk yang ramah lingkungan mulai dikampanyekan intens dalam berbagai pameran sejak setahun lalu. Beberapa tahun belakangan, perusahaan mebel asal Swedia, IKEA, melirik ecoXeramix untuk bekerja sama. Namun, Lydia belum siap memenuhi permintaan mereka. ”Kapasitas maksimal pabrik ini 250.000 buah keramik. Mereka inginnya produksi setidaknya 1 juta keramik. Tidak mudah meyakinkan investor untuk masuk ke industri keramik,” ujar Lydia yang sedang mencari partner kerja.

Setidaknya, Lydia berharap dengan segala upaya dan jurus bertahan yang sudah dirancangnya, suatu saat mesin pembakar keramiknya kembali panas terus seperti masa keemasannya dulu.

(Indira Permanasari)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com