Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/03/2013, 18:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Jika ingin ginjal sehat, rajinlah memantau tekanan darah. Jangan sampai Anda mengalami tekanan darah tinggi atau hipertensi. Menurut Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dr. Dharmeizar, hipertensi merupakan salah satu faktor penyebab penyakit ginjal kronik (PGK).

Hipertensi menurut data dari Indonesian Renal Registry menyumbang 35 persen penyebab PGK paling tinggi di antara faktor-faktor lain. Selain hipertensi, PGK juga dapat disebabkan oleh diabetes mellitus, serta penyakit lain yang berhubungan dengan ginjal, antara lain batu ginjal yang tidak disembuhkan, penyakit ginjal polikistik, dan glomerulonefritis kronik.

PGK merupakan penyakit dengan prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia, yaitu berdasarkan data survei yang dilakukan PERNEFRI baru-baru ini mencapai 30,7 juta penduduk. Menurut data PT ASKES, ada sekitar 14,3 juta orang penderita penyakit ginjal tingkat akhir (PGTA) yang saat ini menjalani pengobatan yaitu dengan prevalensi 433 perjumlah penduduk.

Tingginya angka prevalensi PGK perlu diwaspadai, mengingat penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan, melainkan hanya dapat diperlambat perkembangannya.

"Pasien dengan penyakit ginjal kronik fungsi ginjalnya tidak pernah bisa kembali normal dan harus menjalani pengobatan seumur hidupnya," tutur Dharmeizar yang juga merupakan dokter spesialis ilmu penyakit dalam Rumah Sakit dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) dalam konferensi pers memperingati hari ginjal sedunia di Jakarta, Rabu (6/3/2013).

PGK berbeda dengan penyakit ginjal lainnya seperti batu ginjal ataupun infeksi saluran kemih akibat berkurangnya fungsi ginjal. PGK merupakan penurunan fungsi ginjal perlahan namun pasti sehingga pada suatu saat tertentu akan mengakibatkan gagal ginjal.

Menurut keterangan dari Dharmeizar, PGK ditandai dengan adanya kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan yang didefinisikan oleh adanya abnormalitas struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Namun dapat juga ditandai dengan LFG yang kurang dari 60 mL permenit untuk lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pengobatan untuk PGK pada stadium tahap akhir, kata Dharmeizar, memerlukan terapi pengganti ginjal, diantaranya hemodialisis atau cuci darah, peritoneal dialisis, hingga transplantasi ginjal.

"Untuk mengatasi penyakit ginjal kronik tentunya harus ada penambahan penyebaran sentral pengobatan, namun pencegahanlah yang paling penting," tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh spesialis ginjal dan hipertensi dr. Parlindungan Siregar. Dalam kesempatan yang sama, ia mengatakan bahwa upaya pencegahan perlu dilakukan untuk menekan angka prevalensi PGK.

"Mengapa pencegahan penting? Karena pengobatan penyakit ginjal kronis itu sangat mahal. Bayangkan, pertahun untuk hemodialisis menghabiskan Rp 50 hingga Rp 80 juta, transplantasi ginjal mencapai Rp 250 sampai Rp 350 juta, pertahunnya butuh perawatan lagi yang mencapai Rp 75 hingga Rp 150 juta," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com