Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/03/2013, 08:10 WIB

Oleh  AGNES ARISTIARINI

Hari Tuberkulosis Sedunia yang diperingati setiap 24 Maret baru saja berlalu. Tidak banyak ulasan media meskipun Kementerian Kesehatan menyelenggarakan lomba gerak jalan yang melibatkan beberapa pejabat pula. Gaungnya tertutup drama Cebongan dan isu kudeta yang ditanggapi berlebihan.

Terlepas dari pilihan acara peringatan yang kurang ”seksi”, tuberkulosis memang sering luput dari perhatian publik. Padahal, Indonesia adalah negara kelima dengan beban tuberkulosis tertinggi di dunia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2010 menunjukkan, estimasi prevalensi adalah 660.000 dengan 61.000 kematian per tahun.

Dalam Terobosan Menuju Akses Universal: Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014 (Kementerian Kesehatan, 2011) disebutkan, Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV tertinggi di antara negara-negara Asia. Inilah yang turut memicu peningkatan kasus tuberkulosis—dikenal juga sebagai TB—di Tanah Air. Prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2,8 persen.

Meski demikian, Indonesia merupakan negara pertama di antara high burden country di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada 2006. Tahun 2009 ada 294.732 kasus TB ditemukan dan diobati.

Dengan demikian, rata-rata pencapaian keberhasilan pengobatan selama empat tahun terakhir adalah 90 persen. Inilah tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional, yang baru saja mendapat penghargaan di Washington DC, Amerika Serikat. Global Health USAID yang menyerahkan penghargaan tersebut menilai, Indonesia tidak hanya mencapai kemajuan dalam pengendalian TB, tetapi juga menjadi pelopor penerapan strategi yang inovatif dalam pencegahan, diagnosis, dan pengobatan.

Riwayat TB

Peringatan Hari Tuberkulosis berpijak pada keberhasilan mikrobiolog Jerman Robert Koch mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis sebagai kuman penyebab infeksi TB. Koch mengumumkan temuan itu pada 24 Maret 1882 setelah berhasil menumbuhkan koloni TB di laboratorium untuk pertama kalinya. Kumpulan kuman biru itu berbuah Nobel tahun 1905.

Meskipun baru dikenali 131 tahun lalu, sebenarnya penyakit tuberkulosis sudah ada seiring peradaban manusia. Kehadiran kuman ini ditemukan pada tulang belakang mumi Mesir berusia ribuan tahun yang kini disimpan di British Museum, London. TB juga menjadi penyakit umum pada zaman kekaisaran Romawi dan Yunani kuno.

Sejak itulah upaya ilmiah untuk mengatasi TB terus berlangsung. Temuan kuman TB diikuti dengan pengembangan obat dan vaksin Bacille Calmette-Guérin (BCG) yang efektif mencegah penularan. Meski angka kasus sempat menurun signifikan, kehadiran human immunodeficiency virus (HIV) yang menurunkan sistem kekebalan tubuh meningkatkan kembali penularan TB. Di Indonesia, sebagai contoh, TB menjadi pembunuh utama orang dengan HIV/AIDS.

Kondisi tersebut, ditambah dengan meningkatnya strain kuman yang resistan terhadap obat, membuat TB masih menjadi penyakit infeksi utama yang banyak membunuh umat manusia sampai hari ini.

Tidak tepat dan tidak taat

Prof Dr Samsuridjal Djauzi dalam kolom kesehatan di Kompas (1 April 2012) mengingatkan, resistansi obat terjadi akibat terapi yang tidak tepat dan ketaatan pasien yang rendah. Hal ini karena pengobatan TB baru tuntas setelah enam bulan, dan dalam banyak kasus pasien berhenti sebelum waktunya karena merasa sudah sehat.

Dampaknya adalah multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB), yang berarti kuman sudah kebal terhadap dua obat lini pertama TB, yaitu rifampicin dan isoniazid. MDR-TB tentu saja memerlukan pengobatan yang lebih canggih dan dalam jangka waktu yang panjang sehingga lebih mahal biayanya.

Tantangan ini diakui Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP (K) MARS DTM&H DTCE. Menurut Tjandra, meningkatnya koinfeksi TB-HIV dan kasus MDR-TB membuat jumlah pasien TB dan kematian akibat TB masih cukup banyak di Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com