Peneliti Gary Crameri mengatakan, tim ilmuwan sudah lama mencurigai kelelawar sebagai sumber virus SARS. Dia mengatakan, kemungkinan kelelawar itu sudah menjalin hubungan yang produktif dengan virus SARS selama bertahun-tahun. "Tapi ketika mereka menularkannya kepada manusia, dampaknya luar biasa," katanya.
Crameri mengatakan, fokus riset yang dipublikasikan itu adalah mencari sumber virus SARS dan virus-virus serupa lainnya. "Bukan pada mencari vaksin," ujar dia. Crameri mengatakan, pada umumnya kelelawar dengan virus SARS tidak menimbulkan risiko pada manusia tetapi ia menganjurkan agar berhati-hati pada waktu menyentuhnya.
SARS kini sudah berhasil dikendalikan, tetapi Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang ditimbulkan oleh coronavirus lainnya saat ini menjadi masalah lain yang butuh penanganan. Crameri menduga virus MERS, yang juga tampaknya berasal dari sejenis kelelawar, menjangkiti sel manusia melalui reseptor yang berbeda dan tidak semenular SARS. Meski tak semenular SAR, MERS menelan korban dengan persentase lebih besar pada populasi yang terinfeksi.
Kelelawar adalah binatang kuno dari jutaan tahun lalu, kata Crameri, yang kemungkinan menyebabkan binatang ini membawa sejumlah besar patogen yang tidak berpengaruh pada diri mereka sendiri. "Kelelawar dan virus sudah bertumbuh bersama-sama," katanya.
Para pakar menyambut baik riset baru ini. "Sebelumnya, belum ada yang dapat menemukan coronavirus SARS pada kelelawar," kata Sanjaya Senanayake dari Australian National University. Profesor Charles Watson dari Curtin University mengatakan, wabah MERS baru-baru ini mengingatkan kita bahwa coronavirus berpotensi menyebabkan epidemi besar pada manusia.