Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Yang Luput di Kamar Praktik Dokter

Kompas.com - 16/05/2016, 08:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Tidak salah, menangani pasien sebagai manusia – bukan memperbaiki bagian tubuh yang rusak – memang dibutuhkan jam terbang. Selain asahan modal pengetahuan kognitif, asuhan keterampilan juga memegang peranan penting.

 

Jaman dulu ada istilah ‘dokter itu cocok-cocokan’. Padahal, semua dokter punya standar prosedur operasional yang sama. Jadi pasti ada ‘sesuatu’ yang membuat hubungan dokter-pasien jadi mempunyai kebermaknaan yang berbeda.

 

Tidak semua orang senang disapa dengan basa basi, “Apa kabar?” – sebab jawabannya otomatis “Baik”, yang seakan bertolak belakang dengan alasannya pergi ke dokter. Buat apa juga menerobos macet bahkan sampai mengantri lama, jika kondisi hidup ‘baik-baik’ saja?

 

Ada pasien yang merasa cocok dengan dokternya jika ia mendapatkan persis apa yang diinginkan. Dokter tidak usah banyak bicara, apalagi berpetuah, yang penting obat patennya royal. Versi ini banyak ditemui di klinik-klinik perusahaan.

 

Tapi, ada juga pasien yang merasa cocok dengan dokternya jika ia menemukan teman ‘kongkow’. Hipertensinya langsung reda begitu ada sparing partner obrolan ngalor ngidul mulai dari kebijakan pamerintah hingga perkututnya yang ditawar harga tinggi oleh pesaing.

 

Kedua versi komunikasi kasual tersebut jika dikaji dalam-dalam, tidak bisa disebut memberi dampak yang signifikan bagi kesembuhan seseorang. Dampak ketergantungan, ya. Itu pun tergantung dengan obatnya atau tergantung pada dokternya.

 

Obat memberi efek instan yang amat disukai pasien karena menimbulkan sensasi aman dan bagi dokter kelihatan manjur mujarab.

 

Pada pemantauan pengendalian diabetes misalnya, angka-angka favorit yang menjadi cecaran dokter selain gula darah itu sendiri tentu saja kolesterol dan tekanan darah. Anehnya, bukan Indeks Massa Tubuh.

 

Padahal IMT menjadi urutan pertama dalam sasaran pengendalian. Mengapa? IMT tidak bisa dikontrol dengan obat. IMT adalah refleksi berat badan proporsional seseorang dibanding tinggi badannya.

 

Tidak jarang pasien-pasien yang akhirnya berkunjung ke saya masih menyisakan berbagai hal, walaupun dengan bangganya menyodorkan lembar pemeriksaan lab – yang merupakan hasil kepatuhan minum obat.

 

Dengan pandangan terkesima sorot mata saya akhirnya jatuh di lingkar pinggang yang – maaf – masih terlihat amat mengerikan. Tantangan komunikasi dokter-pasien bukanlah soal kepatuhan lagi di jaman sekarang. Pasien yang sukses, justru mereka yang kritis dan rajin ‘mencobai’ dokternya dengan berbagai pertanyaan ‘mengapa’.

 

Pasien gagal paham cenderung kembali ke pola-pola lama yang menyebabkannya sakit, dan jenuh dengan daftar ‘ini boleh, itu tidak’.

 

Sebaliknya, pasien yang paham akan mempunyai regulasi diri, memiliki pilihan-pilihan sadar. Bahkan, tak jarang jadi panutan bagi orang lain dalam mengatasi masalah serupa.

 

Menjadi sparing partner pasien akan terasa lebih bermanfaat bila dokter terampil mengarahkan pembicaraan seperti seorang coach.

 

Kelihaian menggiring pasien untuk mampu melihat komitmen, kepiawaian membimbing mind set agar lurus sesuai tujuan, adalah ranah komunikasi dokter-pasien yang amat krusial di luar pembicaraan basa basi.

 

Di luar itu semua, diri dokter sendiri adalah representasi tanpa suara tentang makna kesehatan. Barangkali dari semua profesi yang ada di bumi, istilah ‘dengan mempertaruhkan kehormatan saya’ hanya ada dalam sumpah jabatan seorang dokter.

 

Uang yang dibayarkan seorang pasien dalam rupa yang berbeda dari insentif in natura jaman dahulu, sebenarnya bukan pengganti uang lelah atau jasa servis. Tapi bentuk ucapan terimakasih, pujian akan keluhuran dan kejujuran ilmunya.

 

Doa selamat agar dokternya diberi kesehatan yang sama seperti yang dia ajarkan, diberi keberkahan hidup dan keluarga yang sakinah.

 

Pasalnya, masuk kamar praktik, dokter tidak mengejar apalagi mencari uang. Tapi, menjadi tangan kanan Tuhan untuk memelihara kehidupan. Paling tidak itu yang saya yakini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com