Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Pengeluh Bermental Korban

Kompas.com - 02/05/2017, 07:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ketika saya membahas soal etos kerja buruh, ada yang komentar. Kata dia, buruh-buruh kurang produktif, rendah motivasi, tidak giat, dan lain-lain, itu karena mereka diperlakukan tidak adil. Orang yang bekerja baik, rajin, dan tekun, tetap saja tidak mendapat penghargaan yang layak. Yang naik pangkat biasanya yang dekat sama atasan.

Penulis komentar mengaku kesimpulan itu dia dapat dari interaksi dengan buruh. Saya tanya? Anda sebagai apa? Jawabnya berputar-putar tak jelas.. Tapi akhirnya terjawab, dia buruh juga.

Saya juga buruh, kok. Tapi saya melihat dunia dengan cara berbeda. Perusahaan bekerja dengan sistem. Perusahaan membutuhkan orang-orang baik untuk memimpin. Maka disiapkanlah sistem pembinaan, penilaian, dan promosi. Perusahaan dengan manajemen baik, membuat sistem transparan. Orang-orang diperlakukan dengan adil.

Artinya, orang yang bekerja baik akan mendapat imbalan dan penghargaan yang baik. Itu rumus umum.

Tidak adakah kasus di mana orang dizalimi? Ada. Tapi itu kasus minor saja. Ada juga perusahaan dengan sistem manajemen yang buruk.

Artinya apa? Kalau Anda kebetulan dizalimi, atau berada di sebuah sistem manajemen yang buruk, Anda sebenarnya bisa pindah. Anda terhubung dengan pasar bebas tenaga kerja. Kalau Anda sebutir intan yang kebetulan berada di comberan, Anda tinggal keluar dari situ, hijrah, dan Anda akan segera menemukan tempat yang pantas buat Anda.

Masalahnya, apakah Anda sebutir intan? Kalau Anda terus berada di kubangan comberan, carilah cermin untuk melihat diri Anda sendiri. Jangan-jangan Anda cuma sebuah kerikil kotor.

Menyalahkan pihak lain adalah cara berpikir dengan sudut pandang korban. “Saya ini dizalimi. Sudah bekerja dengan baik, tapi tidak dihargai, karena saya berada di sistem yang buruk. Apa boleh buat. Terima saja nasib saya. Memang takdir saya begini. Semoga Tuhan segera mengeluarkan saya dari sini. Semoga yang menzalimi saya kelak mendapat azab.”

Banyak orang betah bertahun-tahun berada dalam situasi itu. Keadaan itu menjadi zona nyaman baginya. Ironis bukan? Zona nyaman tapi sangat tak nyaman. Zona nyaman memang tak selalu nyaman. Orang bertahan di situ bukan karena nyaman, tapi karena takut menghadapi keadaan di luar zona itu. Ia takut untuk mengeluarkan tenaga lebih, yang diperlukan untuk membongkar tembok yang membatasi dirinya dengan dunia luar.

Seperti ia ungkap tadi, yang mendapat promosi adalah orang yang dekat dengan atasan. Apakah orang yang dekat dengan atasan itu buruk?

Dalam kaca mata korban, yang dekat dengan atasan itu adalah orang yang pandai menjilat, lalu membangun hubungan kroni atau nepotis. Itu hal buruk.

Tapi kita bisa melihat keadaan dekat dengan atasan itu dari sudut pandang lain. Seseorang yang dekat dengan atasan, disukai atasan, artinya ia pandai berkomunikasi. Ia menjaga kepantasan perilaku. Ia pandai menempatkan diri. Singkatnya, ia pandai menjalin hubungan antar manusia.

Itu semua adalah keterampilan, yang tidak dimiliki oleh si pengeluh bermental korban tadi. Ketimbang memeriksa dan memperbaiki diri, ia memilih untuk mengeluh. Karena itu, ia tak beranjak dari tempatnya berada.

Dalam kasus lain, pernah seorang teman menulis tentang seorang gadis cantik. Dengan parasnya, ia segera diterima bekerja. Dalam sekejap, ia disenangi banyak orang. Siapa yang tak senang dengan gadis cantik, bukan? Dalam tempo yang tak lama, karirnya melesat naik. Ia adalah gadis yang beruntung, atau hoki. Begitu teman saya tadi menggambarkannya.

Hoki adalah konsep zona nyaman. Seseorang berhasil karena hoki. Ia kebetulan memiliki sesuatu yang menguntungkan dirinya. Keberhasilan adalah sebuah kebetulan. Saya tidak berhasil karena kebetulan saya tak memiliki faktor hoki tadi.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com