Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Bagian Otak yang Hilang Itu Bernama Nurani

Kompas.com - 09/06/2017, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Ketika saya lulus jadi dokter kurang lebih seperempat abad yang lalu, istilah neurosains belum begitu santer terdengar.

Bahkan, urusan saling silang serabutan kerja saraf dan otak dengan sederhana diringkas dalam mata kuliah neurologi yang saat itu saja susahnya minta ampun.

Memahami sungguh bagaimana otak manusia bekerja dan organ inderawi ternyata hanyalah sebagai reseptor – bukan pemberi idea sebenarnya fakta empiris – justru bisa dicerna setelah saya jadi dokter dan mengajar, bukan menghafal jalur kerja saraf yang berliku.

Baru setelah dunia mengenal alat bernama Magnetic Resonance Imaging (MRI), maka para profesor peneliti bisa menemukan sejumput bagian otak manusia yang menempatkan kita akhirnya betul-betul sebagai ‘manusia’.

Bagian otak itu bernama area lateral frontal pole prefrontal korteks. Istilah begitu panjang untuk menunjuk suatu tempat kecil di bagian otak depan yang tidak dimiliki oleh hewan yang paling mendekati kemiripannya dengan manusia: kera.

Baru di tahun 2015 jurnal penelitian memaparkan area kecil yang ‘memanusiakan manusia’ tersebut berkaitan dengan kontrol perilaku.

Rasanya tidak salah jika saya menamakan bagian otak tersebut sebagai tombol moral dan etika. Semakin tepat istilah itu, karena prefrontal korteks sendiri belum banyak berkembang di usia kanak-kanak.

Ingatan tentang hal di atas kembali terusik setelah begitu banyak kejadian beruntun belakangan ini yang tidak masuk akal bagi saya.

Sebutlah tentang video viral perempuan nyaris tanpa selembar benang yang muncul dua hari berturut-turut di tempat yang berbeda.

Ada apa dengan manusia-manusia yang menonton bahkan tega-teganya merekam dijadikan video? Apakah itu tindakan yang bernurani - ketimbang cepat mencari apa pun sebagai penutup tubuh, entah selendang – taplak meja atau gorden dan menyelamatkan perempuan itu serta segera menelepon polisi?

Ada apa dengan supir taksi yang menerima penumpang tanpa busana itu? Ada apa dengan petugas apotik yang pastinya sempat berkomunikasi saat ia membeli sesuatu?

Bahkan, ada apa pula dengan dokter yang tega-teganya membahas kasus perempuan ini blak-blakan di media, tanpa mengingat jabatan profesinya mengharuskan dia menutup mulut rapat-rapat demi alasan konfidensial!

Apakah mereka semua ini lupa, bahwa perempuan itu juga punya martabat, punya keluarga, punya masa depan yang harus dilindungi?

Selain kasus di atas, ujaran kebencian, penggunaan kata-kata tak senonoh dan perilaku kekerasan juga tak lepas dari ‘lemot’nya prefrontal korteks.

Bukan suatu kebetulan, bahwa tetangga area lateral frontal pole prefrontal korteks yang mengurus nurani itu adalah area otak yang mengolah bahasa dan kemampuan kognitif.

Sebagai dosen pembinaan karakter di perguruan tinggi, saya tahu persis mahasiswa mana saja yang bermasalah saat mereka hadir terlambat hanya bermodalkan kunci mobil, dompet dan ponsel. Bahkan, mereka biasanya tidak peduli untuk membawa alat tulis.

Wajah nanar melihat ke depan, tapi saya yakin isi kepala ada di mana-mana – dan saya tidak berhak lagi memberitahu apa yang harus dilakukan setelah sekian semester – karena mereka pada dasarnya manusia dewasa, yang orangtuanya sendiri saja sudah kewalahan.

Ada rasa sedih dan kasihan sebetulnya melihat para korban kehidupan di usia dini seperti perempuan yg videonya viral itu, para begal, para penghujat di media sosial dan beberapa anak muda kaya yang status mahasiswanya berkat orangtua berduit, namun tak pernah berdiri sebagai panutan.

Orang-orang seperti itu pada dasarnya hanya ‘bertahan hidup’, mengandalkan otak survival – bagian sistem saraf primitif yang hanya bicara ‘menang atau kalah’.

Sebagian orang bahkan menyebut dengan bahasa yang lebih vulgar – otak reptil. Reptil kelaparan akan makan telur atau anaknya sendiri. Tanpa nurani apalagi belas kasihan.

Akibat ‘trias politica’ pendidikan yang gagal : asuhan kognitif yang tidak sepadan dengan afektif, tanpa disertai teladan psikomotor yang benar.

Kebiasaan mencari jalan pintas sebagai satu-satunya cara bertahan hidup membuat manusia mundur secara kasta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com