Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

"Rame Ing Gawe, Sepi Ing Pamrih"

Kompas.com - 10/07/2017, 20:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Mengurus rumah sendiri selama libur, berbagi pekerjaan dengan keluarga selalu menjadi ritual yang memberi inspirasi. Jadi kalau saya ditanya,”Dok, libur kemana saja?” Sulit jawabnya.

Saat orang berbondong-bondong meninggalkan sarangnya, justru saya sedang merawatnya. Menggunakan sapu kebun yang terbuat dari lidi itu dan mengumpulkan daun-daun kering yang berserakan, ternyata membutuhkan keterampilan tersendiri.

Belum lagi mengangkutnya agar tidak berceceran masuk ke dalam kantong pembuangan. Sebagai catatan, kesulitan bertambah dengan munculnya tiupan angin.

Saya masih ingat, jaman sekolah dahulu – kepala sekolah jika menghukum muridnya selalu menggunakan cara-cara kreatif, termasuk disuruh membubuhi cap sekolah di ujung semua kertas tulis kosong yang akan dipakai untuk ujian.

Hasil cap harus sempurna. Dan ternyata itu menyengsarakan. Pekerjaan petugas administrasi yang biasanya dianggap sebelah mata dan disebut sepele. Bahkan terlihat gampang karena ibu admin melakukannya dengan kecepatan supersonik, tahu-tahu satu rim sudah dicap semua.

Kedua contoh di atas adalah pekerjaan terampil yang jauh dari ucapan terimakasih apalagi mendapat pujian.

Mengomel pun hanya pantas didengarkan diri sendiri jika tumpukan daun tertiup angin atau hasil cap miring tidak rata. Hal yang tak mungkin nampang di Instagram, saking tak pentingnya.

Jika urusan kebun dan dapur adalah jatah saya, menyapu dan mengepel wilayah pria berotot, maka area cuci diambil si gadis.

Tidak banyak perempuan yang belum menikah saat ini, paham caranya membersihkan pantat panci yang menghitam tanpa perlu menyisakan goresan atau membeli bubuk ajaib di toko mahal, atau menyetrika licin seprai berujung karet yang super lebar dan melipatnya sempurna.

Sekali lagi, hal yang tidak ‘instagramable’ bahkan ditertawakan karena dengan punya uang banyak, siapa pun bisa menggaji orang melakukan semua hal itu.

Sayangnya, semua gawe di rumah sendiri yang begitu banyak dikerjakan saat libur tak ada yang memberi imbalan. Jika imbalannya berupa pujian atau rupiah.

Tapi, saat menyeka peluh sambil menyeruput teh melihat hasil kerja keluarga serumah, ada rasa syukur dan tenang yang tak akan pernah bisa dirasakan oleh mereka yang belum pernah melakukannya.

Ketika mencegah dan merawat terasa sulit dilakukan

Dalam lingkup lebih kecil, hal yang sama terjadi dengan merawat tubuh rupanya. Baru saja saya menghabiskan jam makan siang sambil mengobrol bersama sang belahan hidup. Dia menyitir lagi cerita soal sinshe kuno Cina terkenal yang entah kenapa kali ini kisahnya terdengar lebih ‘mak-jleb’. Mungkin karena lebih mirip apa yang secara profesional saya lakukan sehari-hari.

Alkisah, sinshe kuno Cina tersebut sebenarnya tiga bersaudara. Suatu hari ia ditanya seseorang, ”Dari kalian bertiga, siapakah yang paling pintar?” Sambil menarik nafas, ia menjawab,”Kakak tertua saya. Dia mampu membuat orang sehat tetap bertahan sehat, tapi sayangnya ia tidak terkenal. Jarang yang mau mengunjunginya.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com