Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/07/2017, 07:34 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Ketika anak tidak memiliki akses untuk mendapat pendidikan seksualitas yang benar dari orangtua atau sekolahnya, mereka akan mencari di mesin andalan: Google.

Masalahnya, mencari informasi seputar seks dan kesehatan reproduksi secara online seringkali menyesatkan, bahkan bisa menjurus pada pornografi.

Meski pun ada banyak informasi kesehatan yang akurat di internet, tetapi kebanyakan anak dan remaja tidak bisa membedakan mana yang sebenarnya iklan, informasi palsu, fantasi, dan sumber kedokteran ilmiah.

Mudah percaya pada apa yang kita baca di internet tanpa melakukan verifikasi bisa berbahaya. Menurut penelitian yang dilakukan di Belanda tahun 2010 menemukan, semakin sering remaja terpapar pornografi, makin mereka percaya bahwa yang mereka lihat adalah gambar nyata dari seks.

Remaja memang mengandalkan internet untuk menjawab pertanyaan yang mereka anggap tabu untuk disampaikan pada orangtuanya.

Survei TechSex: Youth Sexuality and Health Online tahun 2017 melibatkan 1.500 remaja dan dewasa muda berusia 13-24 tahun tentang penggunaan teknologi.

IlustrasiThinkstockphotos Ilustrasi
Sebanyak 21 persen menjawab, informasi yang ditemukan di Google dan mesin pencari lain adalah "cara yang paling efektif untuk belajar tentang seks, seksualitas, dan kesehatan reproduksi".

Kepercayaan mereka terhadap Google (21 persen) hanya berbeda sedikit dengan berkonsultasi dengan dokter, perawat, atau di klinik (30 persen).

Menurut data dari Guttmacher Institute, organisasi nonprofit yang fokus pada kebijakan kesehatan reproduksi dan seksual, remaja juga mengakses website yang kontennya tidak tepat.

Dalam sebuah penelitian, dari 177 website kesehatan seksual yang dilihat remaja, 46 persennya memberi informasi keliru tentang kontrasepsi dan 35 persen informasi menyesatkan seputar aborsi.

Agar remaja tidak mengikuti informasi seputar kesehatan reproduksi dan seksual yang keliru di internet, maka pengetahuan tentang seksualitas adalah kuncinya.

Menurut psikolog anak dan keluarga Elizabeth Santosa, perilaku seks remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pergaulan teman sebaya, lingkungan sosial, media dan teknologi, serta hubungannya dengan orangtua.

“Remaja memerlukan konsep pendidikan seksual yang utuh dan komprehensif. Pendidikan seks komprehensif mencakup semua aspek, tidak hanya tentang perubahan fisiologis (puber) saja, tapi juga aspek sosio-emosional di mana remaja juga dipersiapkan mental menghadapi mood yang naik-turun, yang seringkali dihadapi sehari-hari,” kata Elizabeth (Kompas.com/12/2/2015).

Pendidikan seks yang baik juga bisa mencegah pelecehan seksual pada anak, perilaku seks bebas, aborsi, hingga penularan penyakit seksual.

Analisis data yang dilakukan Guttmacher Institute tahun 2012 yang melibatkan 5000 orang dewasa muda menyebutkan, remaja akan menunda berhubungan seks dengan pacarnya jika mereka mendapat pendidikan tentang bahaya seks pranikah dan kontrasepsi.


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com