Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/07/2017, 16:55 WIB
Mawar Kusuma Wulan

Penulis

KOMPAS.com - Ada ungkapan yang mengatakan, ”It takes a village to raise a child”.

Jika untuk membesarkan seorang anak saja membutuhkan keterlibatan banyak pihak, membesarkan anak berkebutuhan khusus membutuhkan lebih banyak lagi tenaga, pikiran, waktu, dan biaya.

Pengorbanan demi pengorbanan pun dilakukan terutama oleh keluarga terdekat untuk menyiapkan orbit atau lintasan bagi kemandirian anak-anak berkebutuhan khusus.

Pasangan Melani D Wangsadinata dan Tateng K Djajasudarma mengorbankan banyak hal untuk membesarkan puteri ke duanya Alia Puteri Djajasudarma (22) yang didiagnosa sebagai penyandang autis pada usia sekitar 2,5 tahun.

Sejak saat itu, pasangan suami istri yang berprofesi sebagai arsitek ini bahu membahu membesarkan Alia dengan satu tujuan untuk meraih kemandirian.

Melani sempat mengorbankan karirnya selama belasan tahun agar bisa menjadi ibu penuh waktu terutama bagi Alia.

Karirnya sebagai arsitek ditinggalkan dan hari-harinya diisi untuk totalitas mendampingi pendidikan Alia.

“Kami segera mulai mencari terapis yang kala itu masih sangat jarang. Terapi harus benar-benar dimulai sejak dini terutama pada periode emas percepatan pertumbuhannya,” kata Melani.

Demi mengejar ketertinggalan tumbuh kembang Alia, Melani dan Tateng pun mengikuti lokakarya tentang autisme hingga ke Amerika Serikat. Mereka juga membekali Alia dengan terapi musik ke Singapura.

Karena kebanyakan terapis yang dilibatkan berbahasa Inggris, Alia pun lebih akrab berbahasa Inggris dan hingga kini fasih berbahasa Inggris dari awalnya sama sekali tidak bisa berbicara.

Untuk meraih pendidikan terbaik, keluarga pun mencari sekolah umum yang memiliki program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

Sempat bersekolah di SD Madania, Parung, Bogor hingga kelas 4, Alia kemudian melanjutkan sekolah di Sekolah Cita Buana lalu Erudio School of Arts.

Setelah lulus sekolah, Alia sempat magang sebagai ilustrator untuk Kompas Anak di harian Kompas dan di majalah Bobo.

“Sejak kecil, bakat utamanya memang menggambar. Itu yang kami pupuk,” tambah Melani.

Helen Keller (1880-1968), seorang pendidik, aktivis, sekaligus jurnalis tunanetrarungu percaya pendidikan menjadi kunci utama agar kaum tunarungu (dan difabel secara keseluruhan) agar mampu meraih mimpi dan menjajal beragam profesi.

Karenanya, perlu perubahan persepsi dari lingkungan sekitar bahwa penyandang disabilitas bukanlah obyek rasa iba, melainkan orang yang mampu berdaya.

Ikuti kisah perjuangan dan cinta kasih keluarga-keluarga dengan buah hati berkebutuhan khusus di Kompas Minggu, 16 Juli 2017 dan versi digital di Kompas.id.

Hadir pula ulasan film Despicable Me, jalan-jalan ke Dijon, Perancis, menikmati sensasi kuliner ala Brasil, hingga gurihnya opor ayam khas Blora, Jawa Tengah. (Mawar Kusuma)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com