Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/09/2017, 20:47 WIB
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum

Penulis

 

Izinkanlah saya sedikit berpikir ke depan dengan semua kemungkinan terburuk. “Frekwensi gelombang radio sebelah” begitu gencarnya mengisi gendang telinga kita, mulai dari gaya diet usia dewasa hingga gaya memberi makan anak yang dibebaskan ‘sesuai naluri dan pilihan’ si bayi (padahal bayi belum mampu membuat pilihan).

Lalu hujan impor pangan sana sini, hingga banyak orang anehnya memilih ngemil almond ketimbang kacang bogor kukus.

Kemudian nyanyian ‘back to nature’ kebablasan yang membuat keluarga muda bimbang antara memilih vaksinasi atau (sekali lagi) bersandar pada ‘kekebalan diri’.

Di tingkah musik sumbang ‘beranak-pinaklah, tiap anak bawa rezeki dan takdir’ – sehingga Keluarga Berencana dianggap hanya siasat pemerintah, seakan-akan orang miskin tidak berhak punya anak banyak.

[Baca juga: Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan]

Atas nama hak asasi berpendapat dan kebebasan berujar, saya rasa akan menjadi amat sulit bagi bangsa ini untuk maju.

Khususnya jika yang mengeluarkan pendapat dan yang mendengar ujaran belum sampai pada tingkat tertentu – dipandang dari sisi wawasan, kebijakan berpikir dan kedewasaan mengambil kesimpulan.

Memuntahkan bulat-bulat dan menelan mentah-mentah itulah yang kelihatannya justru masih terjadi.

Hukum rimba-lah yang berlaku: Siapa yang kuat, dialah yang menang. Kuat suaranya (belum tentu benar), kuat dananya (untuk menyebar pengaruh), kuat koneksinya (tak gentar membela yang bayar).

Jika di Rohingya sana terjadi pengusiran etnis dan penghapusan kelompok secara kasar kasat mata, modus atas nama ‘ethnic cleansing’ bisa saja terjadi dengan cara yang jauh lebih halus bahkan tanpa penolakan.

Jujur saya amat khawatir dengan begitu masifnya gaya hidup asing merangsek komunitas-komunitas Indonesia.

Menggantikan kearifan merawat keluarga dan merawat diri yang sudah terbukti sejak berabad lampau menjadi kepraktisan atas nama kekinian.

Mengubah tatanan agraris menjadi industrialis hingga bahan pangan pun akhirnya impor. Mengubah sopan santun menjadi kebrutalan emosi, yang salah justru jadi lebih galak ketimbang yang menuturkan kebenaran.

[Baca juga: Bagian Otak yang Hilang Itu Bernama Nurani]

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com