Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah

Kompas.com - 28/09/2017, 19:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com- Tulisan ini memuat sekian banyak pengamatan yang bisa jadi luput dari kacamata awam, tapi begitu menggelitik jika dilewatkan.

Salah satunya pemandangan yang semakin marak di meja makan restoran: bayi-bayi atau bocah di kursi tinggi di meja makan sambil disuapi matanya terpaku pada layar ponsel.

Cara membuat ‘anak duduk tanpa bertingkah’ di saat makan yang dianggap praktis dan pintar oleh orangtuanya (apalagi pengasuhnya), yang tanpa disadari akan menuai perkara di kemudian hari.

Anak tidak diajar menjadi tertib di meja makan dan menikmati makanannya, melainkan justru pengalihan fokus yang menjadi pilihan.

Suatu hari, jangan marah jika anak yang sama di usia remaja akan lebih asik berkutat dengan ponselnya, sementara keluarganya di sekeliling meja makan dianggap bukan siapa-siapa.

Lebih parah lagi jika anak itu suatu hari juga jadi orangtua, yang sibuk sendiri atas nama pekerjaan yang ‘harus diurus via telepon pintar’ ketimbang berinteraksi dengan keluarganya di meja makan.

Ini bukan masalah sopan santun lagi, melainkan hilangnya penghargaan atas eksistensi manusia di sekelilingnya.

Juga bukan perkara pengalihan perhatian semata, tetapi ketidakmampuan menunda ketagihan dan kelekatan pada media ciptaan manusia, daripada ketertarikan pada manusianya sendiri.

[Baca juga: Bagian Otak yang Hilang Itu Bernama Nurani]

Ponsel yang tiba-tiba terselip, raib atau hilang sinyal menjadi malapetaka besar bagi seorang remaja belakangan ini, ketimbang orang tuanya tak pulang rumah seharian.

Mengerikan sekali jika kita mulai berhitung, berapa jam anak-anak berinteraksi dengan gawai dibandingkan dengan sungguh-sungguh berbicara, berdialog dan menatap sesamanya menggunakan seluruh panca indera dan empati.

Norma, etika, sopan santun, atau istilah unggah-ungguh belakangan ini menjadi hal yang begitu dingin jika tidak mau disebut ‘tidak dipahami’ sama sekali.

Jangankan terhadap orang lain, berbuat sopan dan menjadi hormat, memberi penghargaan terhadap diri sendiri pun jarang saya jumpai pada manusia milenial ini.

Kebiasaan makan seadanya, seketemunya, atau malah berjingkrak kegirangan saat kecanduan lidah ditemukan – disadari atau tidak – merupakan penyiksaan terhadap tubuh yang kebutuhan esensinya justru diabaikan. Jangan kesal saat penyakit pun satu per satu bermunculan sebagai kumpulan masalah baru.

Terlambat makan, makan ngawur, kurang tidur, kerap dianggap ‘tambahan keluhan’ di praktik dokter, bukannya menjadi fokus perubahan yang utama.

Tak heran jika temuan diabetes di hari pertama pun oleh dokter langsung diberi obat, padahal prosedur operasional yang benar bukan begitu.

[Baca juga: Rame Ing Gawe, Sepi Ing Pamrih]

 

Lebih celaka lagi, masih ada dokter spesialis yang menertawakan kemampuan pasien mengubah gaya hidup. Cobalah jadi pasien diabetes di negri maju. Tak ayal negri kita dikenal royal obat-obatan di kala sakit.

Dan kondisi ini pastinya akan semakin parah dan masalah kian menggunung bilamana situasi sebelum sakit tidak pernah mendapat perhatian.

Kebiasaan salah bermula dari pola asuh masa kecil

Kebiasaan mencari jalan pintas, solusi seringkas-ringkasnya, jika masih malu menggunakan kata instan, membuat otak berpikir pendek dan jiwa kehilangan ‘grit’ – jika meminjam istiilah profesor muda yang sedang naik daun, Angela Lee Duckworth.

Keuletan dan kegigihan jiwa dalam segala aspek kehidupan pun bukan karunia, apalagi wangsit instan. Melainkan, hasil dari pola asuh keluarga yang masih menghargai komitmen serta keutamaan.

Bahwa uang itu bukan segalanya, walaupun uang itu penting. Sehingga, amat tidak masuk akal jika ada manusia menjual harga diri demi uang apalagi status.

Begitu pula uang hanyalah wahana, yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, digunakan bukan untuk merendahkan harga diri lagi, tapi justru meningkatkan kualitas diri. Sehingga, dari kecil anak terbiasa menabung bukan untuk membeli makanan melainkan buku bermutu, misalnya.

Di hari tua, punya pulsa dan kuota berlebih pun tidak dipakai untuk menyebar berita sensasi (hanya supaya kelihatan kekinian, tidak telat informasi) padahal akhirnya menuai kontroversi.

Tanpa disadari, seseorang bisa punya andil dalam menciptakan kekisruhan, kebodohan dan keterbelakangan cara berpikir.

Bayangkan jika kuota berlebih itu dipakai untuk mengunduh buku elektronik atau berlangganan jurnal teranyar!

[Baca juga: Kesehatan Salah Kaprah, Adakah Rasa Bersalah?]

Kebiasaan salah yang kerap tidak disadari juga terjadi saat kita menelan mentah-mentah informasi tanpa berpikir lebih cermat apalagi menelusuri kebenaran fakta.

Hal yang juga tidak serta merta kita dapatkan sebagai kebijaksanaan, tetapi sekali lagi: pembiasaan sejak kecil untuk berpikir bukan hanya rasional tapi juga runut, terstruktur dan bisa dipertanggungjawabkan.

Sayangnya, kebiasaan melempar batu sembunyi tanganlah yang dijadikan pola – mulai dari kebiasaan mencari kambing hitam hingga mengangkat bahu menampilkan raut muka, ”Wah, ndak tahu ya...”

Terbiasa mengatakan “saya tidak tahu” di era milenial ini, suatu hari akan menuai badai. Harga yang harus dibayar akan sangat mahal. Mulai dari kecerobohan mengurus diri hingga korbannya orang lain.

Ungkapan “tidak tahu” secara implisit mengandaikan banyak hal, mulai dari orang tersebut tidak punya tanggung jawab hingga keberadaannya tidak bermakna sama sekali di dunia ini.

Sayang amat jika suatu perusahaan atau instansi pemerintah menggaji karyawan yang kerap menjawab “tidak tahu”.

Banyak orang besar di dunia ini mendapat titik balik dalam kehidupannya justru saat mereka menyadari kebiasaan-kebiasaan salahnya dan langsung berubah sebelum menuai masalah.

Seperti yang pernah diucapkan Albert Einstein, kegilaan itu adalah saat di mana ada orang mengharapkan hasil yang berbeda, tapi dalam hidupnya ia masih mengulangi cara-cara yang sama!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com