Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/10/2017, 11:23 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Kesadaran masyarakat untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) pada bayi mereka semakin meningkat. Hal ini menciptakan kebutuhan baru yaitu Donor ASI untuk bayi yang tidak bisa mendapatkan nutrisi berharga ini dari ibu mereka. Namun, banyak ibu yang tidak menyadari bahwa donor ASI tidak bisa dilakukan sembarangan.

Diana Yunita Sari, ibu yang baru melahirkan sekitar 6 bulan lalu merasakan sendiri bagaimana mudahnya mendapatkan donor ASI. Diana melahirkan prematur di usia kehamilan 34 minggu dan ia sendiri harus langsung masuk ICU karena kondisi kesehatannya menurun.

"Pada saat itu ASI saya tidak langsung keluar, bahkan sampai dua hari payudara saya tidak bengkak seperti halnya ibu yang baru melahirkan. Setelah dibantu dua perawat untuk memompa ASI, hasilnya hanya 0,1 mili," katanya.

Karena bayi laki-lakinya membutuhkan asupan nutrisi, keluarganya berinisiatif mencari donor ASI. Begitu diunggah di media sosial, tidak begitu lama tawaran ASI donor masuk melalui telepon genggam suaminya.

Pendonor menawarkan ASI lengkap dengan informasi mengenai jenis kelamin anak, usia anak, dan diet si ibu. Dokter perinatologi yang merawat bayi Diana sempat memberikan ASI dari donor tetapi mucnul reaksi bayi yang tidak diharapkan. Akhirnya ASI dari donor tidak jadi diberikan.   

Pengalaman serupa juga dialami Pradiningrum Mijarto yang akrab disapa Dani. Ketika itu, di tahun 2014 ia mendadak menerima anugerah harus merawat keponakannya yang lahir prematur dan ibu kandungnya meninggal dua hari kemudian. Sebagai seorang lajang, Dani merasa kebingungan mengurus keponakannya yang harus masuk inkubator selama satu bulan.

"Saya bingung harus bagaimana, akhirnya teman menyarankan untuk mencari donor ASI lewat Twitter. Saya dapat donasi ASI dari seorang ibu di Tebet. Sampai usia 9 bulan keponakan saya itu mendapatkan ASI dari beberapa donor," ujar Dani.

Minim informasi

Informasi mengenai kebutuhan ASI di media sosial pada umumnya hanya mengungkapkan jenis kelamin bayi, agama, domisili, dan juga tentang pola makan dan gaya hidup ibu pendonor. Berbekal rasa percaya, ASI pun diberikan pada bayi-bayi yang memang membutuhkan.

Melihat fenomena tersebut, Ketua Satuan Tugas ASI dari Ikatan Dokter Anak Indonesia dr.Elizabeth Yohmi, Sp.A mengaku prihatin pemberian ASI dari donor tidak disertai dengan screening sama sekali.

Sebagai alternatif makanan bayi, ASI dari donor memang terbaik, karena paling bisa ditolerir oleh pencernaan bayi. Tetapi ada juga kerugiannya.

Dr.Elizabeth Yohmi, Sp.AKompas.com/Lusia Kus Anna Dr.Elizabeth Yohmi, Sp.A
“Meskipun ASI itu adalah susu, tetapi ia sebenarnya adalah produk darah yang dapat mentransfer berbagai penyakit. Kasus yang paling sering ditemui adalah penularan virus CMV, hepatitis B dan C, dan  HTLV (virus pemicu leukemia dan limfoma),” jelas dr. Yohmi.

Ia mengungkapkan fakta seorang bayi di Surabaya yang lahir prematur dan mendapatkan donasi ASI. Beberapa bulan kemudian baru diketahui bayi itu tertular HIV yang berasal dari donasi ASI setelah kesehatannya terus menurun.

Yohmi melanjutkan, Badan Pencegahan dan Penularan Penyakit Amerika Serikat (CDC) tidak merekmondasikan ASI dari donor tanpa didahului screening atau penapisan. Hal itu tidak hanya dilakukan pada ASI saja tetapi ibu yang memproduksi ASI.

Penapisan dapat berupa pemeriksaan secara lisan (wawancara) atau tertulis dan dilanjutkan cek laboratorium.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com