Sementara itu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan para dokter dan aparatnya tidak selalu berjalan mulus.
Publik kian kritis. Bahwa ternyata obat satu tas plastik untuk hipertensi, kolesterol tinggi dan pengentalan darah bukan jaminan orang bebas stroke walaupun dokternya wanti-wanti seumur hidup obat tidak boleh lepas. Ternyata suntik insulin saja tidak membuang kemungkinan gagal ginjal.
Di waktu yang berjalan terus semakin cepat, upaya pencegahan alias preventif promotif tidak favorit, karena manusia sudah terlalu enak berbuat apa saja dan tidak ada tanda-tanda keinginan berubah apalagi keluar dari zona nyaman makan seketemunya, hidup semaunya.
Jujur, para dokter juga kalang kabut dengan ketinggalan ilmu perilaku dan komunikasi efektif. Apalagi jika antrean pasien membludak.
Akhirnya, muncul bahasa menakut-nakuti atau istilah ‘vonis dokter’ yang dihubungkan trauma pasien.
[Baca juga: Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah]
Lebih seru lagi saat media sosial dan penggiat teknologi informasi kerap melemparkan bola panas dan menciptakan opini publik tentang pelayanan kesehatan yang timpang – tanpa diklarifikasi duduk perkara sebenarnya.
Alhasil ketidakpuasan terhadap layanan medik membuat orang melihat ke belakang. Gayung bersambut.
Pendekatan ‘manusiawi’ dan uluran rasa percaya berhasil dibangun oleh ranah komplementer yang sudah punya kekuatan promosi tersendiri – walaupun diberi istilah cara ‘alternatif’.
Menjadi kian menarik karena diam-diam mereka meminjam banyak istilah kedokteran yang diolah dengan bumbu promosi.
Bergulir juga istilah ‘telah diakui melalui penelitian’ sebagai penambah konfirmasi rasa aman pasien. Pasien pun tidak peduli penelitian seperti apa dan validitasnya ada atau tidak.
Saat nyawa menjadi taruhan, dunia pengobatan semakin gemerlap dan menarik. Apalagi jika aturan masih belum jelas.