Masalahnya, kegiatan makan bersama yang belakangan ini merebak di sekolah-sekolah akhirnya membuat kepala sekolah menyodorkan deretan makanan yang dianggap ‘memudahkan para ibu’ untuk membuatnya. Makan bersama hanyalah program formalitas. Bukan pendidikan pangan sehat.
Alhasil daftar menu yang pernah mendarat di meja saya membuat dahi ini kian berkerut: bakso goreng, spageti, makaroni skotel, fish and chips, donat dan susu, pisang goreng keju coklat, mie goreng bakso sapi. Astaga.
Jangan pernah berasumsi anak sulit diajar makan sehat. Masalahnya, sang ibu dan ayah tidak cukup telaten menjadi contoh dan sungguh-sungguh memilih berbagai sayur enak yang tumbuh di negeri ini untuk dimakan bersama lauk yang tepat.
Saya masih ingat ada seorang anak yang ‘katanya susah makan’ – begitu dibuatkan gulungan selada romain berisi ayam betutu dan potongan ketimun, dia makan seperti orang belum diberi makan sehari.
Secara ontologis, tidak ada anak yang menolak pangan alamiah. Mereka punya hubungan erat antara kebutuhan gizi dan tubuhnya.
Ontologi tubuh manusia sesuai dengan hukum kodrat, sementara teknologi bekerja dengan pakem andalannya: cepat, tepat, akurat, efisien, praktis. Jadi amat sangat kacau jika tubuh diberi pangan menurut hukum teknologi.
Salah kaprah memberi makan anak dengan cara praktis, menjadikan tubuhnya hanya sekadar mendapat asupan seperti hitungan di atas kertas, padahal mereka butuh lebih dari itu.
[Baca juga : Tetap Fotogenik Tanpa Harus Jalani Ketogenik]
Secara epistemologi, anak butuh antioksidan sekaligus protein dan serat, bukan hanya energi dari karbohidrat – untuk membuatnya bebas dari tubuh pendek dan otak telat mikir.
Secara aksiologis, pola makan sehat sejak dini bukan hanya menunjukkan soal ketahanan pangan dan identitas bangsanya, tapi juga ketahanan tubuhnya terhadap pelbagai perubahan jaman.
Memberi kebaikan bagi banyak orang, memberkahi petani dengan rezeki – selama tidak ada kartel dan mafia sepanjang garis perjalanan dari kebun ke atas meja makan.
Semoga pendidikan para penyehat bangsa ini masih peduli dengan tiga tiang keilmuan tadi, demi masa depan yang lebih baik – bukan untuk segelintir orang – tapi demi semua anak bangsa.
[Baca juga : Mengapa Dunia Pengobatan Selalu Menarik?]
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.