Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis

Kompas.com - 15/12/2017, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Hal yang sama, kisah penyintas kanker di internet kurang pembacanya ketimbang berita berseri-seri tentang artis penderita kanker stadium akhir, yang akhirnya juga meninggal setelah menghabiskan ratusan juta demi kemoterapi dan berulangkali operasi. Tebak, apa yang ditangkap awam yang sedang berusaha mengkritisi situasi?

Skeptisisme publik terhadap layanan kesehatan konvensional makin hari makin mengkhawatirkan, walaupun akhirnya mereka memaksa untuk diberi tindakan medik saat sudah kritis dan gawat. Seakan-akan masuk UGD atau ICU meloloskan orang dari sakratul maut.

Saat pengantar pasien gugup dan kalap, dokter dan tenaga kesehatan lainnya rentan terhakimi di tempat, minimal menjadi sasaran perundungan – karena persepsi istilah atau jenis tindakan antara keluarga pasien dan dokter tidak sama.

Kekisruhan dalam hitungan menit bertambah runcing saat tenaga kesehatan tidak fasih berkomunikasi efektif.

Kehebohan ini terekam pula oleh kamera jurnalis dan lekas tersebar dengan bahasa sensasional, menghasilkan opini publik yang viral.

[Baca juga : Kebiasaan Salah Menuai Sekian Masalah]

Otokritik terhadap layanan kesehatan sudah waktunya kita hadapi dengan lapang dada. Disinilah letaknya reformasi.

Sudah tidak jaman lagi slogan-slogan retorika dan semboyan-semboyan klasik cuma jadi hafalan saat pejabat pusat kunjungan kerja ke daerah.

Faktanya, layanan kesehatan masih menggunakan pendekatan yang sama. Tidak cukup juga istilah petugas kesehatan yang ramah, sementara isi pembicaraan hanya basa-basi, karena angka kematian ibu dan bayi masih tinggi.

Cakupan imunisasi masih rendah. Orang lebih berebut beli sari kurma di musim demam berdarah ketimbang pergi ke sarana kesehatan.

[Baca juga : Mengapa Dunia Pengobatan Selalu Menarik?]

Parameter keberhasilan upaya preventif dan promotif memang sulit ditemukan. Apalagi jika ingin dijabarkan secara statistik.

Belum lagi perubahan isi ‘piring makanku’ dan asupan sayur buah hingga 600 gram per hari seperti anjuran Kemenkes sebagai pencegahan terhadap sekian banyak Penyakit Tidak Menular seperti hipertensi, stroke, diabetes, kanker.

Jika upaya yang jelas-jelas mencegah penyakit menular saja masih mempunyai begitu banyak kendala dan hambatan, apalagi ‘anjuran’ hidup sehat untuk mencegah diabetes dan hipertensi yang masih dianggap penyakit keturunan?

Negeri kita membutuhkan niat baik dan upaya tanpa pamrih dari banyak pihak, untuk membuat keraguan dan sikap skeptis menipis hingga akhirnya sirna.

Nalar publik yang kritis perlu dikenyangkan dengan pemahaman utuh, bukan penjelasan sepotong-sepotong apalagi tuntutan kepatuhan untuk hidup sehat.

Sebab, siapa sih nekat mau menjajal hidup menderita akibat penyakit, atau terjebak dalam situasi kritis mengancam nyawa? Setiap penolakan, resistensi, hendaknya menjadi teguran bagi kita: ada apa? Jaman berubah, masyarakat berubah, cara berkomunikasi dan pendekatan edukasi pun (mestinya) berubah.

Jangan-jangan, kita masih berandai-andai hidup seperti di masa lalu, di mana segala sesuatunya bisa diredam dengan ancaman dan saling menyalahkan. Semoga tidak.

[Baca juga : Tingkat Kepercayaan: Edukasi, Inspirasi atau Sensasi?]

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com