Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/12/2017, 19:27 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri di Indonesia dianggap sebagai yang tertinggi di dunia karena banyaknya kasus yang ditemukan. Serangan bakteri yang menimbulkan kematian ini sejatinya bukan terjadi secara mendadak.

Sejauh ini KLB difteri terjadi di 142 kabupaten/kota dengan jumlah kasus mencapai 600 dan korban meninggal 38 orang.

Menurut Dr.dr.Hindra Irawan Satari SpA (K), konsultan infeksi tropik, KLB difteri yang sekarang ini terjadi merupakan dampak dari rendahnya cakupan imunisasi dalam beberapa tahun terakhir.

"Ini seperti bom yang meledak karena dalam 8-9 tahun terakhir cakupan imunisasi kita rendah dan banyak pihak lalai. KLB difteri tidak datang tiba-tiba, sudah ada lampu kuning sejak lama," ujar dokter yang akrab disapa dr.Hinki dalam acara diskusi media yang diadakan Forum Ngobras di Jakarta, Selasa (19/12).

Ia menjelaskan, KLB difteri sudah muncul 9 tahun lalu di Jawa Timur dan Palangkaraya. "Waktu itu masih banyak yang cuek. Setelah sampai di Jakarta baru semua gelisah," ujarnya.

Hinki mengatakan, cakupan imunisasi DPT secara nasional memang tinggi. "Namun kalau dilihat per kabupaten, kecamatan, atau kelurahan, ada kantong-kantong yang cakupan imunisasinya sangat rendah. Inilah yang menyebabkan difteri meledak," papar dokter dari RSCM Jakarta ini.

Penyakti difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini sudah dikenali sejak ratusan tahun lalu dan vaksinnya mulai digunakan sejak tahun 1890.

“Jadi, vaksin bukan barang baru. Lalu kenapa sekarang jadi takut divaksin?” tegasnya.

Pemberian vaksin DPT untuk mencegah difteri dilakukan beberapa kali sejak anak masih bayi sampai usia 10 tahun.

Dijelaskan oleh Prof.Dr.Sri Rezeki Sp.A(K), setelah vaksinasi DPT di usia anak-anak lengkap, tetap harus diulang setiap 10 tahun sekali, sampai usia dewasa. "Karena kekebalannya akan terus turun sehingga harus diulang," katanya.

Yang pasti, kampanye soal vaksin harus diulang-ulang terus. “Kita harus terus konsisten. Jangan malas dan bosan, karena itulah yang ditunggu oleh kelompok antivaksin,” tandas Hinki.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com