Memang lebih mudah menyisihkan sejumlah uang donasi atau membeli makanan kemasan termasuk susu bubuk untuk disumbangkan, sekadar mengobati rasa bersalah jika sama sekali tidak tergerak melakukan apa pun.
Tapi adakah yang berpikir, bahwa barang-barang itu hanyalah produk konsumsi yang akan habis sesaat – sedangkan hidup manusia berjalan terus?
Lebih parah lagi, penerima donasi membentuk persepsi: seakan-akan barang-barang tersebutlah yang dianggap terbaik, tercepat mengatasi rasa lapar dan penderitaan fisik.
Tak heran di gubuk-gubuk penduduk Asmat lebih banyak ditemukan rokok dan mi instan. Bisa jadi, merupakan kelanjutan imbas dari ‘perkenalan pertama’ mereka beberapa saat yang lalu, saat bencana diberi ‘produk pangan’ berdus-dus.
Sangat memilukan untuk mengajarkan manusia kembali mengonsumsi hasil kebun dan menanamnya kembali.
Bukankah tragedi bila lahir di atas rawa, besar di tengah rawa, tapi tak mampu menangkap ikan, bahkan tidak tahu mau makan apa?
Cukup banyak rakyat kita melihat ikan, sayur, buah dan hasil bumi hanya sebagai barang dagangan, yang dijual demi uang. Bukan sebagai barang konsumsi, yang membuat mereka bertahan hidup sehat.
[Baca juga : Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis]
Program penyelamatan generasi jangka panjang tidak boleh kalah pamor dari gerakan cepat tanggap yang barangkali hanya berlangsung satu-dua bulan.
Angka cakupan vaksinasi yang tinggi, tanpa disertai kondisi gizi anak yang baik pun akan menuai kesia-siaan.
Bakteri yang dilemahkan dengan harapan mengulik kekebalan aktif yang dihasilkan tubuh tidak akan terjadi.
Saat gizi buruk, jangankan membuat sel darah putih untuk menangkal penyakit, menumbuhkan otot dan merajut syaraf otak saja tubuh tidak mampu.
Begitu pula sawar selaput lendir (mucosal barrier) di sepanjang saluran cerna, tidak terbentuk sempurna pada kasus gangguan gizi kronik, sehingga infeksi mudah menyerang.
Tindakan pro aktif penyedia layanan kesehatan, jika tidak berjalan sinergis bersamaan dengan edukasi sesuai taraf kebutuhan lokal, juga akan menimbulkan masalah baru yang tidak kalah mengerikannya.
Penyesuaian konten materi edukasi pun wajib selaras dengan kondisi demografis dengan harapan tidak akan terjadi ‘culture shock’.