Terbayang betapa susahnya rakyat negri ini, dibuat untuk tetap prihatin dan mawas diri ditengah kelimpahan berkah. Ibarat mengawinkan perilaku semut ke diri si jangkrik.
Menjaga kesehatan di saat bugar dianggap suatu keanehan. Lebih celakanya lagi, jika tubuh sakit akibat foya-foya lalu pemerintah yang disuruh menanggung.
Seperti musim dingin tiba, jangkrik mengigil tanpa cadangan makanan dan ia merasa berhak merampas tabungan si semut.
Upaya promotif preventif atau membayar pajak dan menabung, tidak pernah jadi ikon favorit. Malah dianggap menyusahkan dan merusak suasana. Bahkan sebagian besar orang cenderung menghindarinya, lari dari kewajiban.
Begitu banyak usaha telah dikerahkan untuk mengubah paradigma dari ‘spending to saving’, dari mengobati menjadi mencegah.
Lebih banyak gagalnya ketimbang berhasil. Kok bisa? Ini semua akibat ‘gagal paham’ – begitu istilah zaman sekarang.
[Baca juga : Gizi, Vaksinasi, Edukasi: Tiga Pilar Membangun Generasi]
Selama publik belum memahami ‘mengapa’ orang perlu bayar pajak, ‘mengapa’ perlu mencegah penyakit sebelum datang, maka mustahil gembar-gembor program bisa berjalan. Alih-alih dikerjakan, publik jaman yang rentan hoax, malah menyimpan tuduhan dan sangkaan.
Genjotan bayar pajak dikira karena negara bangkrut. Diajak hidup sehat mencegah penyakit mengandaikan vaksinasi adalah teori konspirasi.
Dihimbau ikut KB membina keluarga kecil tapi sejahtera menimbulkan kecurigaan melawan kodrat alam dan hukum (lagi-lagi) agama.
[Baca juga : Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis]