Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendobrak Stigma Disabilitas di Hari Perempuan Internasional

Kompas.com - 09/03/2018, 13:00 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada yang sedang belajar merias wajah, menyumbangkan suara di panggung, bermain musik, menggoreskan kuas dengan lentur di atas kertas, menjajakan makanan, bahkan hingga menyiapkan sebuah acara besar.

Tak ada yang berbeda dari orang pada umumnya. Mereka, para penyandang disbilitas juga bisa melakukan semua aktivitas seperti biasa.

Adalah Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJS), dua organisasi yang menginisiasi acara "Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia" di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Ira Askarina, Ketua Panitia sekaligus anggota PJS mengatakan, orang-orang banyak jenis disabilitas terlibat di acara tersebut. Mulai dari mereka yang tuna netra, tuna wicara, tuna rungu, down syndrome, hingga mereka yang memiliki gangguan seperti skizofrenia dan bipolar.

"Ini memang wanita disabilitas yang mengadakan acara ini. Tidak pakai EO (Event Organizer). Jadi yang kerja kami semua. Yang netra, tuli, mental disability. Tapi kalau yang berpartisipasi, semua (gender). Panitia 95 persen dari disabilitas," kata Ira saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (8/3/2018).

Melukis, salah satu kegiatan dalam acara Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (8/3/2018).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Melukis, salah satu kegiatan dalam acara Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (8/3/2018).
Acara tersebut memang sengaja digelar bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional dan mengangkat tema perempuan disabilitas mengubah dunia.

Ira mengatakan, perempuan disabilitas masih mendapat stigma tertentu di masyarakat. Tak hanya kondisinya yang merupakan penyandang disabilitas, tapi juga gendernya yang seorang perempuan.

"Banyak sekali yang bisa diubah sebenarnya, dalam arti di sekitar kita. Misalnya mendobrak stigma yang banyak dialami disabilitas, mendobrak kekerasan seperti domestik dan kekerasan seksual, dan diskriminasi," tuturnya.

Komunitas Kebaya, Kopi dan Buku saat mengajarkan pemakaian kebaya dan kain batik kepada para penyandng disabilitas dan masyarakat yang hadir pada acara Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (8/3/2018).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Komunitas Kebaya, Kopi dan Buku saat mengajarkan pemakaian kebaya dan kain batik kepada para penyandng disabilitas dan masyarakat yang hadir pada acara Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Ira mencontohkan beberapa diskriminasi yang masih dialami para penyandang disabilitas. Misalnya di saah satu resort di JawaBarat yang pernah dikunjunginya, memiliki syarat pengunjung kelompok yang sehat rohani dan jasmani. Hal itu dianggapnya diskriminatif dan menimbulkan pertanyaan besar.

"Itu kan diskriminatif sekali. Yang dimaksud sehat jasmani dan rohani itu gimana? Itu kan seperti stigma bahwa yang 'tidak sehat' ini entah dia mengganggu, atau apa," ujarnya.

Selain itu fasilitas pendukung masih belum ada di semua sarana umum. Misalnya sekolah negeri. Anak-anak penyandang disabilitas kemudian mengalami kesulitan pergi ke kelasnya jika berada di lantai atas.

Juga di stasiun kereta. Ira mencontohkan Stasiun Cikini sebagai salah satunya. Saat itu, belum ada lift atu eskalator yang membantu para penyandang disabilitas untuk naik ke lantai atas. Padahal, untuk naik kereta, semua orang harus naik ke atas.

Sementara eskalator yang tersedia juga belum bisa dimanfaatkan maksimal oleh para penyandang disabilitas. Selain diperuntukkan bagi mereka yang bisa berjalan, eskalator tersebut juga hanya cukup untuk satu orang sehingga tidak memungkinkan jika penyandang disabilitas naik berdampingan dengan seseorang.

"Padahal kan itu sarana umum. Hal-hal seperti itu lah yang masih belum ada. Dan kita sendiri yang harus menyerukan ke pemerintah karena kadang mereka enggak tahu kebutuhan kita apa," kata Ira.

Pemerintah sendiri menurutnya sudah mulai memiliki perhatian lebih terhadap penyandang disabilitas. Organisasi-organisasi penyandang disabilitas bekerjasama dengan pemerintah mulai membuat peraturan-peraturan terkait. Misalnya kewajiban setiap gedung perkantoran memiliki fasilitas yang ramah disabilitas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com