Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakai Kain dan Kebaya Setiap Hari, Mengapa Tidak?

Kompas.com - 09/03/2018, 16:35 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Inovasi busana modern terus bermunculan. Namun keberadaan kebaya dan kain tradisional tetap ada di hati masyarakat Indonesia. Bahkan, antusiasme masyarakat untuk memakai kebaya dan kain daerah disebut semakin tinggi.

"Jadi memang sekarang banyak. Kalau saya pribadi ngajarinnya (pakai kebaya dan kain) di mal-mal bahkan. Sekarang mulai banyak orang yang berkantor pakai kebaya dan kain yang sederhana. Kami ajarkan yang mudah dipakai untuk sehari-hari," tutur salah satu inisiator Perempuan Berkebaya, Lia Nathalia.

Ini diungkapkannya di sela acara Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (8/3/2018).

Dalam acara tersebut, Lia bersama teman-temannya dari komunitas Kebaya, Kopi dan Buku, mengajari para penyandang disabilitas cara memakai kain batik. Tapi rupanya, banyak pula perempuan muda yang bukan disabilitas ikut belajar menggunakan kain.

Banyak dari mereka yang tahu dan memiliki kain namun, tidak bisa menggunakannya. Setelah belajar, mereka baru mengetahui ternyata menggunakan kain tidak sulit dan mereka pun semakin antusias belajar.

Hal itu menunjukkan bahwa kebaya dan kain sebagai busana tradisional tak hanya digemari oleh mereka yang usia dewasa, namun juga di kalangan anak muda.

"Tadi ada beberapa anak muda yang mereka tidak punya keterbatasan tapi mau belajar," ucap Lia.

Pegawai Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengenakan baju daerah untuk memperingati Hari Kartini di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (21/4/2017). KRISTIANTO PURNOMO Pegawai Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia mengenakan baju daerah untuk memperingati Hari Kartini di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Jumat (21/4/2017).
Ia menambahkan, busana daerah sebetulnya juga bisa digunakan untuk kegiatan sehari-hari, bahkan traveling. Hal itu dibuktikan sendiri oleh Lia yang sehari-harinya menggunakan kebaya dan kain.

Kadang, komunitasnya juga mengajarkan cara memakai kain sederhana di tempat-tempat yang tidak resmi, seperti kedai kopi, dan dilakukan di acara santai.

Ketertarikan masyarakat terhadap kebaya dan kain yang meningkat ternyata juga dibaca oleh para pengrajin.

Sebelumnya, banyak penenun kain yang sudah tidak mau berkarya karena tidak ada pasarnya. Saat ini, beberapa daerah bahkan mulai mendidik lagi anak-anak mudanya untuk menjadi penenun.

Batik-batik tulis, kata Lia, saat ini juga sudah bervariasi. Termasuk dari segi harga. Beberapa produsen mulai membuat batik tulis dengan harga sekitar 150 ribuan.

Itu bisa dilakukan dengan menyederhanakan motif batik, menggunakan canting besar dan satu warna.

"Sekarang teman-teman pengrajin batik tulis sudah memenuhi permintaan pasar dengan memproduksi batik tulis yang lebih terjangkau. Sekitar Rp 150 ribu itu sudah lumayan."

"Paling tidak kami sarankan beli yang cap. Jangan print karena kasihan pengrajinnya nanti bilang diambil sama negara lain," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com