Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pangan “Ultra-Proses”: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini

Kompas.com - 30/06/2018, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Walaupun demikian, produk ultra-proses sudah berkontribusi antara 25-50% total kalori asupan pangan manusia sehari-hari di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru dan Brasil.

Angkanya bisa jadi lebih besar di Asia Tenggara saat sekarang.

Produk ultra-proses dijagokan sebagai pangan yang aman dari kontaminasi, praktis, terjangkau dan membuat lidah ketagihan, sebetulnya berasal dari rangkaian proses pengolahan bahan secara fisik, biologis, dan kimiawi.

Jadi amat lucu sebetulnya, bila belakangan ini banyak orang menolak mengonsumsi ‘obat kimia’ dari dokter, tapi jika dilihat sehari-hari asupan makanannya tak jauh dari pangan ultra-proses.

Baca juga: Gizi, Vaksinasi, Edukasi: Tiga Pilar Membangun Generasi

Badan Pengawas Obat dan Makanan akan tertinggal jauh jika masih berkutat dengan sebatas formalin, pewarna makanan dan ‘zat berbahaya lainnya’, tapi belum melirik produk sampingan akibat ultra proses seperti akrilamida, amino-heterosiklik, dan poli-aromatik-hidrokarbon.

Zat-zat tersebut muncul sebagai ekses pangan yang diolah dengan suhu tinggi, yang dikenal dengan reaksi Maillard.

Belum lagi bahan kemasan yang berkontak langsung dengan produk yang akan dimakan.

Bukan hanya tukang jualan makanan pinggir jalan yang menggunakan styrafoam, masih banyak produk pabrik yang diam-diam memakai material sejenis yang juga mengandung bisfenol-A, dengan dampak gangguan hormonal dan risiko kanker.

Masih ditambah adanya ‘food additives’ seperti sodium nitrat dalam daging olahan atau titanium dioksida yang juga potensial menyebabkan kanker.

Baca juga: Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim?

Sanggahan akan semakin kencang bermunculan saat negara tidak mempunyai pegangan penelitian sahih dalam negri yang tidak punya konflik kepentingan, apalagi jarangnya akademisi bernyali yang berani buka suara.

Justru yang kian santer adalah jumlah korban penyakit degeneratif dan kanker yang dianggap lebih masuk akal sebagai suratan nasib, polusi yang tak terelakkan atau kesialan yang diturunkan dari generasi ke generasi – ketimbang menuduh pangan ultra proses yang terjangkau, praktis, disukai, dan kekinian.

Sayangnya, kesempatan hidup hanyalah sekali. Dan hak setiap warga negara untuk hidup bebas dari keterbelakangan, kebodohan dan miskinnya informasi yang jujur tidak boleh dilangkahi.

Baca juga: Papua, Mereka Dimiskinkan di Tanah yang Kaya

Sekali pun dianggap sebagai pelajar yang amat bahagia di seluruh jagad, betapa memalukannya jika siswa kita belajar di sekolah hanya demi lulus ujian.

Hanya di negeri ini barangkali, siswa sibuk ‘belajar soal’, bahkan menghafalkan jawabannya sebelum ujian. Ketimbang mencari pemahaman apa yang tengah dipelajarinya.

Mungkin itu juga metafor bagaimana orang mencari makanan praktis. Bahkan, didapat dengan mudah hanya dengan jangkauan telepon layanan jasa antar. Ketimbang belajar memelihara tubuh, agar masih berfungsi dengan baik saat rezeki mampir untuk dinikmati – bukan mengalir ke praktek dokter.

Baca juga: Mengapa Banyak Orang Sangat Suka Bakso?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com