Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/09/2018, 21:36 WIB
Windoro Adi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Peneliti sejarah keraton di Cirebon, Farihin, yang ditemui terpisah membenarkan apa yang di sampaikan Hilman.

Ia menjelaskan, Panembahan Losari, atau Pangeran Angkawijaya yang dimakamkan di Desa Losari Lor, Kecamatan Losari, tahun 1580, adalah cucu Sunan Gunung Jati.

"Beliau putra pasangan Ratu Wanawati, Pakungwati, dengan seorang pria, putra keturunan Raja Demak, Pangeran Dipati Carbon," papar Farihin.

Panembahan Losari, lanjutnya, memilih meninggalkan keraton dan tinggal di satu pedukuhan di tepi Sungai Cisanggarung (perbatasan Cirebon dan Brebes), yang kemudian menjadi tempat dia dimakamkan, dan dinamai Desa Losari.

"Alasannya, seperti dikutip Kitab Purwaka Caruban, beliau menghindari pertengkaran soal perjodohan dengan sang kakak, Panembahan Ratu.

Baca juga: Rayakan Kemerdekaan, Kunjungi Pameran Batik Peranakan

Selain itu, beliau ingin menepi, menjauh dari hiruk pikuk dan kemewahan keraton," ucap Farihin.

Motif Indramayu

Karena keraton melarang warga biasa memakai kain batik produk keraton, maka berkembanglah di luar tembok keraton, batik pesisiran.

Muncullah kemudian di Cirebon motif motif seperti kapal labuh, kapal kandas, dan batik kenduruan di lingkungan peranakan China di Kota Cirebon.

Motif flora dan fauna yang berkembang di luar keraton, masih mirip dengan motif flora dan fauna di lingkungan keraton, dengan bentuk yang lebih sederhana.

Tidak demikian dengan motif batik Indramayu. Motif batik Indramayu lebih didominasi flora dan fauna laut, seperti motif ikan etong (abalistes stellaris atau ikan ayam ayam, atau ikan kambing kambing, atau ikan jebong), sisikan (sisik ikan), atau tanaman bakau.

"Perbedaan pokok antara batik keraton (Pakungwati) dengan batik Indramayu adalah, kalau batik keraton lebih banyak bermain motif simbol, maka batik Indramayu lebih memilih corak realitas alam, terutama alam laut."

Demikian penjelasan Carwati saat ditemui di rumahnya, Paoman, Indramayu, pekan lalu.

Baca juga: Memakai Batik dalam Gaya Lebih Modern

Maklum, sentra batik Paoman tempat neneknya mengembangkan rumah batik, didominasi para istri nelayan.

"Memang ada beberapa motif batik Indramayu yang serupa dengan motif batik yang berkembang di luar keraton di Cirebon yang menggambarkan flora dan fauna darat."

"Tetapi di Indramayu, kurang populer," sambung Carwati yang mulai melanjutkan usaha rumah batik neneknya sejak 2008.

Bisnis batik

Menurut Carwati, bisnis batik di Indramayu, terutama di Paoman, masih terus menanjak.

"Masih lebih tinggi permintaan daripada penawaran. Yang menjadi kendala adalah tenaga membatik sampai penjahitnya."

"Selain jumlahnya makin sedikit, kualitas kerja mereka pun makin rendah. Belum lagi soal etos kerja yang terus merosot," ungkap dia.

Demi mengantisipasi hal ini, Carwati dan sekitar 20-an pengusaha batik di Paoman yang rata-rata beromset Rp 60– 100 juta per bulan, mengembangkan batik cap halus.

"Tahun 2010 para pengusaha batik di Indramayu memang masih mengandalkan rejeki dari penjualan batik tulis yang banyak dibeli kolektor."

"Tetapi setelah tahun itu, angka penjualannya surut," ujar Carwati.

Kini, para pengusaha batik di Paoman lebih mengandalkan batik massal untuk pakaian seragam, atau busana bebas untuk dewasa dan anak anak.

"Perbandingannya, 60 (pakaian batik) banding 40 (kain batik). Batik cap masih menjadi andalan kami ketimbang batik printing."

"Sebab, sebagian masyarakat di sini masih menganggap, printing itu bukan batik," tutur Carwati.

Batik Indramayu, motif Banji Tepak yang menggambarkan kotak kota perhiasan (pengaruh China).KOMPAS/WINDORO ADI Batik Indramayu, motif Banji Tepak yang menggambarkan kotak kota perhiasan (pengaruh China).
Bagaimana dengan bisnis batik di lingkungan keraton ?

"Awalnya kami mengandalkan penjualan batik tulis untuk kalangan kelas atas, tetapi sekarang kami lebih mengandalkan pasar kelas menengah dengan batik cap kami," ungkap Arimbi.

Ia mengakui, derasnya penawaran serta perubahan motif motif batik di sejumlah sentra batik di Cirebon, dan Indramayu, membuat kalangan pengusaha batik di lingkungan keraton terengah-engah.

"Sekarang saja batik kami yang paling populer motifnya justru bunga bunga, dan nuansa laut. Itu pun batik cap," ungkap Arimbi.

Batik batik tulis dengan motif keraton, lanjutnya, hanya disukai para pembeli dari Jakarta.

"Harga termahal untuk batik tulis bermotif khas keraton, maksimal Rp 15 juta," tutur Arimbi.

Sama seperti yang disampaikan Carwati, kecenderungan bisnis batik saat ini adalah batik cap, bukan printing atau batik tulis.

Baca juga: Mengenal Bin-gata, Batiknya Okinawa di Jepang

"Memang permintaan masih lebih banyak dari penawaran, tapi kan para ‘pemain’ batik-nya pun sekarang lebih banyak," tutur Arimbi.

Ia mengakui, untuk memertahankan eksistensi batik keraton, mau tidak mau para pengelola keraton harus berani mengikuti perkembangan pasar, dan bersaing bebas dengan sentra sentra batik di Cirebon dan Indramayu.

"Kami harus mampu memelihara dan mengembangkan nilai lebih batik produk kami, dengan para pesaing," tegas Arimbi.

Apa nilai lebihnya?

"Tradisi dan ritual, serta pengembangan pariwisata di lingkungan keraton yang dihubungkan dengan bisnis batik kami," ujar Arimbi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com