Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/09/2018, 18:00 WIB
Ariska Puspita Anggraini,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Mengonsumsi serangga mungkin menjadi hal yang tak lazim. Tapi, warga di beberapa daerah di Indonesia justru mengonsumsi hewan avertebrata ini sebagai camilan atau makanan pokok.

Di kawasan Gunung Kidul, misalnya, kita bisa menemukan orang-orang yang menjajakan belalang goreng di sisi jalan.

Bahkan, saat musim tertentu, masyarakat setempat juga mengolah ungkrung atau kepompong pohon jati menjadi pepes atau ditumis menggunakan cabai rawit.

Ulat sagu yang menjadi salah satu binatang khas Provinsi Papua juga kerap disantap masyarakat setempat.

Hewan berbentuk tambun, lembek, dan sedikit kenyal ini juga seringkali dikonsumsi hidup-hidup.

Baca juga: Tidak Kalah dari Manusia, Inilah Tradisi Pemakaman di Dunia Serangga

Serangga di beberapa negara juga sering menjadi camilan. Seperti di Meksiko, cacing merah agave dan cacing tequila menjadi santapan populer.

Rasa yang pedas saat digigit membuat masyarakat setempat kerap menjadikan serangga ini sebagai topping pizza.

Menariknya, hewan ini juga kerap digunakan untuk tambahan tequila karena menambah kenikmatan untuk alkohol.

Di India, telur semut merah dikonsumsi oleh suku-suku asli di Timur Laut, begitu juga dengan leta atau larva ulat sutera.

Serangga tersebut bahkan telah menjadi makanan pokok Suku Bodo dari Assam, India. Anggota suku-suku ini juga mengonsumsi ulat, rayap, belalang, jangkrik dan kumbang.

Namun, apakah mengonsumsi serangga ini baik untuk kesehatan?

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO)  menyatakan, serangga kaya akan serat dan protein. Hewan ini sangat bagus untuk kesehatan manusia.

“Serangga kaya akan protein dan dengan demikian dapat digunakan sebagai pengganti protein,” Papar Arup Kumar Hazarika, profesor di Cotton College, Guwahati, India.

Menurut dia, serangga juga mengandung mikro dan makronutrien tertentu yang tidak ditemukan pada daging lain.

Namun, mengonsumsi serangga masih masih belum dianut secara luas dan dianggap tabu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com