Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Hoax Kesehatan Itu Hasil Berbagi dari yang Tidak Sehat

Kompas.com - 24/10/2018, 09:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Dari penelusuran seputar kabar ngawur alias hoax sekitar dua tahun yang lalu, yang duduk di peringkat tertinggi adalah kisah-kisah yang berkaitan dengan kesehatan atau lebih tepatnya: “jurus-jurus jitu” untuk jadi sehat.

Itu sebelum blunder hoax politik membuat orang semakin kelihatan tidak sehat. Kadang muncul rasa penasaran saya, apa yang membuat manusia begitu cepat menyebarkan beragam informasi yang terkadang masuk akal saja tidak.

Misalnya, sebelum kesimpulan benar atau salah – akal sehat mestinya mampu mempertanyakan kewarasan manusia untuk minum jus pete atau jengkol demi mengusir kanker.

Atau mengunyah bawang putih setiap hari agar bebas serangan jantung, sampai membuat teman tidur sengsara menanggung hembusan bau mulut – yang begitu dahsyatnya, hingga bawang putih diberi julukan ‘pengusir setan’. Setan saja ngeri apalagi orang.

Baca juga: Bermain Jadi Dokter Sendiri, Berujung Ngeri

Jika hoax politik, tentunya mempunyai motivasi kampanye jahat dan merugikan lawan politik, serta membawa barisan pendukung berbalik arah, lalu apa untungnya berbagi hoax soal kesehatan? Padahal, kerap kali bahkan tidak membawa nama produk, apalagi bernada komersial.

Sesederhana memeringati orang akan bahaya makan udang dengan vitamin C, atau selagi makan jangan sambil minum – karena enzim pencernaan bisa ‘kelewat encer’. Berita ngawur begini, mau menguntungkan siapa?

Selidik punya selidik, entah pembuat hoax yang pertama atau pengedar sekaligus merangkap editor hoax (karena makin jauh berita terusan ini berkembang, makin seru imbuhannya) – biasanya mengutip penggalan kalimat berbau saintifik, bahkan tak jarang menyebut nama institusi dan profesornya sekalian biar kedengaran lebih afdol.

Jika hoax bermuatan politik saja ada celah lengah tanpa diperiksa kebenaran ceritanya, maka hoax kesehatan lebih gawat lagi : ditelan mentah-mentah, diamini, bahkan diteruskan dengan gaya lebih meyakinkan.

Baca juga: Niat Cepat Sehat: Kebiasaan Memberi Kail atau Ikan?

Dari sekian lama pengamatan saya, usia produktif masih bisa dikategorikan lumayan dalam hal kekritisan menerima berita – bahkan mereka yang tergolong kelompok ini masih mau bertanya pada pihak yang lebih kompeten.

Konfirmasi kebenaran klaim kesehatan menjadi hal yang amat penting, sebelum mereka ibaratnya ‘mempertaruhkan harga diri’ dan menanggung malu jika ternyata klaim itu salah bahkan hoax.

Nah, yang justru ngeri dan rentan adalah kelompok senior: yang pagi hari sudah tidak perlu ke kantor atau tidak ada cucu yang harus dijaga. Menyalakan ponsel, membuka pesan masuk, dan menjelajah Facebook sudah menjadi rutinitas para pensiunan dan ibu-ibu sepuh.

Menyapa, bertegur sapa, menjangkau orang lain adalah sisi kemanusiaan dan cara bersosialisasi yang masih kental pada diri generasi yang saat ini berusia 60 tahun ke atas. Yang masih mau berguna bagi siapa saja, sekalipun kantor sudah memberi jatah pensiun.

Baca juga: Antara Tom Cruise, Badan Bagus dan Mood Oke Terus

Nah, saat membaca jurus-jurus mujarab maupun ancaman penyakit, sambil mengingat sesama teman yang sepuh, jari tanpa kontrol langsung memilih tombol “diteruskan, kirim!” – yang tahu-tahu sudah menyebar viral di grup alumni, grup arisan, hingga grup keluarga.

Jangan salah, ini bukan hanya modus para pensiunan kantor atau ibu-ibu. Perilaku yang sama dilakukan oleh para dokter senior. Yang sudah surut dari jalur akademik, yang sudah merasa diri ‘tidak dianggap’ oleh generasi yang lebih muda.

Merasa berguna, ingin dihargai, dan menjadi bermakna adalah sangat manusiawi. Barangkali konteks di atas akan saya kaitkan dengan pasangan terheboh di dunia minggu ini: Pangeran Harry dan Meghan Markle.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com