Edukasi yang sifatnya paternalistik, mengimbau, memberi instruksi hingga ‘agak memaksa’ tidak akan mempan jika literasi tidak dibangun. Rakyat yang literasinya masih pendek tidak akan cukup menjangkau tentang hari depan.
Buat mereka, hasil panen dan tangkapan laut adalah komoditi – dengan dijual maka uang ada di tangan.
Dengan uang, mereka bisa beli apa saja. Untuk hari ini. Yang bisa dipegang, dinikmati dan dilihat, serta dipamerkan jika perlu.
Komoditi beda dengan konsumsi. Jika hasil panen dan tangkapan dikonsumsi, maka habislah sudah. Paling ‘cuma buat kenyang’ – rezeki melayang.
Baca juga: Kurus, Gizi Buruk, Stunting: Wajah Ngeri Anak Indonesia
Literasi yang mereka miliki tidak mampu membuat abstraksi soal masa depan. Buat mereka, perut kenyang makan ikan tak beda jauh dengan rasa kenyang makan mi instan.
Jika menjual ikan bisa beli rokok, pulsa, sekaligus mi instan – bukankah kelihatan bodoh apabila ikannya malah dimakan?
Apalagi, mi instan disukai pula oleh para juara, para artis, dan menurut berita online, salah seorang juragan Asia terkaya pun baik-baik saja rutin mengonsumsi mi instan favoritnya.
Mendampingi rakyat untuk bisa mengubah perilaku dan kebiasaan bukan semudah membalikkan tangan apalagi membuat mereka hafal jinggle kampanye.
Petugas kesehatan yang lulus ujian kompetensi pun masih malu-malu kucing begitu ketahuan jajan gorengan atau anaknya masih kecanduan teh manis – kurang apa lagi pengetahuan mereka? Deraan sabotase masih belum seberapa.
Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini
Cobalah lihat iklan makanan dan minuman di semua program televisi. Promosi jajanan kekinian yang seenaknya bisa menembus media sosial – entah bagaimana cara mereka bayar pajak iklannya.
Bahkan, artikel feature media cetak ternama bisa ‘kecolongan’ iklan terselubung, yang begitu manisnya menyelinap sebagai latar belakang tokoh yang sedang diwawancara.
Bicara soal perubahan perilaku melalui paradigma pendekatan komunikasi mau tidak mau membuat kita harus jujur dengan semua hal di atas.
“Manual” hidup sehat misalnya, dimulai dengan ASI ekslusif selama 6 bulan tanpa setetes madu atau imbuhan lain yang masuk ke mulut bayi.
Ironinya, di daerah pelosok miskin, cakupan ASI ekslusif amat rendah. Lalu apa yang dikonsumsi bayi jika ASI yang gratis tidak lagi diberi?
Mengapa susu formula dan pangan instan lebih membangun rasa percaya diri seorang ibu membesarkan anaknya, ketimbang ‘manual’ 1000 Hari Pertama Kehidupan anak yang secara formal ofisial sudah diakui semua institusi kesehatan seluruh dunia?
Baca juga: Gizi Minimalis: Timpangnya Literasi dan Supervisi