Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Punya Bayi Prematur, Orangtua Harus Lebih Aktif Pantau Perkembangannya

Kompas.com - 29/11/2018, 13:13 WIB
Nabilla Tashandra,
Wisnubrata

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Angka kelahiran bayi prematur di Indonesia terbilang sangat tinggi. Menurut laporan Born too Soon milik The Global Action Report on Preterm Birth dari PBB, Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah bayi prematur terbanyak di dunia. Angkanya mencapai 675.700 bayi di tahun 2010.

Namun, tak sedikit orangtua terutama ibu yang masih belum mendapatkan cukup edukasi untuk terus memantau perkembangan anaknya yang terlahir prematur.

"Memang bayi prematur bedanya ibunya harus lebih banyak konsultasi, jangan (melakukn segala hal) sendiri karena bahaya," kata Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) dalam peluncuran bukunya yang bertajuk "ASI untuk Bayi Prematur" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/11/2018).

Rina memahami bahwa tak sedikit bayi yang lahir di daerah dengan fasilitas kesehatan dan dokter yang belum memadai. Dalam posisi tersebut, peran komunitas terkait menjadi sangat penting untuk membantu penyebaran edukasi ke daerah-daerah.

Namun, orangtua harus tetap melakukan proses screening atau pemantauan berkala terhadap bayi prematurnya. Jangan sampai para ibu justru datang ke dokter setelah anaknya mendapatkan masalah.

"Jangan tahu-tahu datang sudah buta, tuli, enggak bisa jalan, anaknya enggak pintar atau kegendutan," tuturnya.

Bagi bayi baru lahir, Rina mengingatkan agar orangtua selalu memantau grafik pertumbuhannya serta melakukan koreksi jika ada pertumbuhan yang belum sama seperti bayi cukup bulan.

Misalnya, ketika seorang bayi lahir delapan minggu lebih awal dari 37 minggu (waktu lahir cukup bulan). Maka bayi tersebut harus mengejar ketertinggalan pertumbuhannya tersebut.

Keterlambatan harus terus dikejar, sebab pertumbuhan anak paling pesat terjadi pada 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK) atau hingga usia dua tahun.

Rina mengaku sedih karena masih ada ibu yang mengabaikan grafik tersebut. Ada beberapa kasus dimana mereka tidak memahami grafik tersebut atau bahkan tidak sengaja menghilangkannya.

"Ada yang tidak tahu taruh dimana karena tidak tahu kegunaannya, ibunya cuek, jadi bukunya hilang. Padahal itu sangat penting dan tidak bisa bikin baru sebab dokter tidak tahu tren pertumbuhannya," tuturnya.

Pemantauan pertumbuhan tidak berhenti hingga usia dua tahun saja. Menurut Rina, perkembangan setidaknya dipantau hingga usia awal sekolah atau pada 6-7 tahun.

"Mata, telinga, otak, tulang, HB (Hemoglobin), harus diperiksa. Ada screening tumbuh dan screening perkembangan: usia tiga bulan seharusnya bisa apa. Kalau tidak bisa, harus dicari tahu kenapa tidak bisa," kata Rina.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com