Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Teknologi Bisa Dipercepat, Sementara Kehidupan Harus Tetap Taat Kodrat

Kompas.com - 07/04/2019, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tulisan ini sebenarnya merupakan catatan yang tertinggal ketika saya berada di kabupaten Mimika, Papua Januari yang lalu.

Penerbangan tengah malam membantu saya beristirahat sejenak sebelum pesawat melandas subuh di bumi Cendrawasih yang selalu menyisakan kenangan sekaligus rasa penasaran.

Satu perbedaan mencolok yang tidak ditemui di propinsi lain adalah lembaran khusus di atas meja penginapan yang berisi peringatan bahaya malaria.

Bagi yang belum pernah menginjakkan kaki di Papua, jangan pernah berpikir di setiap jengkalnya ada hutan berawa dan babi bersliweran.

Kuala Kencana adalah contoh kecil dari kota ekslusif yang super moderen, tertata baik dengan infrastruktur canggih tanpa tiang listrik atau telepon berseliweran.

Baca juga: MPASI Rumahan Tidak Sama dengan MPASI Murahan

Bahkan, air hujan deras yang terkenal ‘lebay’ di sana, dalam waktu sekejap lenyap, karena konstruksi jalan yang dibuat melengkung nyaris tak kentara dengan gorong-gorong raksasa tanpa jejalan sampah.

Bersih, serba teratur dan tertib membuat Kuala Kencana mirip Colorado dan para ekspatriat betah tanpa terpikir mudik.

Teknologi perusahaan raksasa negeri adidaya yang berkecimpung di sana memungkinkan Papua serasa Jenewa. Apalagi jika kita pernah menyusuri jalan-jalan kecil di Tembagapura.

Kabut dan udara dinginnya serta jejeran rumah apik tertata rapih dengan kerimbunan bunga Calla Lily putih yang memesona, semakin melumpuhkan ingatan bahwa tempat ini adalah bagian dari Indonesia. Bahkan propinsi dengan angka stunting dan gizi buruk yang amat mengenaskan.

Baca juga: Ketika Manual Hidup Sehat Ketlingsut

Masih banyak anak Papua ysng menjadikan daging olahan sebagai makanan favorit, karena rasanya yang enak.KOMPAS.com Masih banyak anak Papua ysng menjadikan daging olahan sebagai makanan favorit, karena rasanya yang enak.

Gambaran beban ganda dapat ditemui dengan amat mudah. Di tengah perusahaan raksasa yang menjamin karyawan beserta keluarganya mendapat fasilitas makan ‘kelas satu’, anak-anak asli Papua usia sekolah dasar mengantre nasi goreng dengan setumpuk bacon babi dan pancake terguyur sirup.

Saat saya bertanya mengapa pilih makanan itu, mereka menjawab polos, ”Suka dan enak rasanya”.

Di klinik perusahaan yang tak jauh dari sana, yang juga membuka layanan publik bagi masyarakat umum – saya sempat mengobrol dengan seorang ibu yang sedang merajut noken – jinjingan tradisional mereka.

Anaknya yang sulung sedang dirawat karena diare. Sementara kedua anaknya yang lain nampak kurus dengan tulang mata menonjol dan lelehan ‘angka sebelas’: ingus yang turun dari kedua lubang hidung.

Ketika saya tanya sudah makan atau belum, si kecil menjawab malu-malu sambil menunjukkan biskuit berlapis krim dalam kemasan warna-warni. Ibunya bilang itu makanan kesukaan anak-anaknya selain mi instan.

Bukan hanya praktis, murah pula tambahnya. Tidak usah repot masak, dan tidak perlu ada sisa makanan. Mereka senang di sana sudah ada pusat perbelanjaan yang menjual makanan-makanan praktis.

Baca juga: Generasi Milenial Perlu Kenal Bedanya Makan “Beneran” dan Camilan

Lompatan kejut masyarakat Papua dengan masuknya peradaban pendatang yang mempunyai komunitas khusus membuat saya menemukan istilah “from barefoot to aircraft”.

Karyawan lokal yang tadinya manusia-manusia sederhana perambah hutan tahu-tahu mendadak berpakaian seragam dengan helmet dan sepatu boot, bahkan naik turun pesawat perusahaan yang secara masal memobilisasi ratusan penumpang.

Ubi bakar dan ulat sagu berganti menjadi roti selai kacang dan sosis. Dan mereka menyebutnya makanan orang beradab.

Teknologi dan hasilnya yang dikunyah mentah-mentah menihilkan jejak penting peradaban manusia yang disebut ‘pola asuh’.

Pola asuh tidak boleh diartikan sempit hanya sekadar menyusui, menina bobokan anak, dan berpeluk-cium.

Orangtua yang memahami pola asuh punya kesadaran tinggi, yang mampu membedakan mesin pabrik produsen barang jadi dengan keluarga yang menghasilkan generasi selanjutnya.

Amat mengerikan, jika cara pandang teknokrat dan birokrat diterapkan pada perjalanan pola asuh yang mestinya memandang kehidupan tidak lepas dari hukum kodrat. Hukum kodrat tidak mengenal percepatan apalagi efisiensi.

Perempuan disebut hamil cukup bulan sepanjang segala jaman selalu sama: sembilan bulan dua minggu. Mana bisa dipercepat? Begitu pula perjalanan matahari terbit hingga terbenam.

Kegagalan edukasi terjadi, apabila para cendekia yang katanya terdidik lalu menyamaratakan hukum kodrat dengan hukum teknokrat yang berkiblat pada kecepatan, ketepatan, kepraktisan dan efisiensi, tentu saja. Alhasil makan hanya sekadar mengisi perut untuk menjadi energi.

Baca juga: Keamanan Pangan dan Ketahanan Pangan: Di Dunia Manakah Kita?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com