Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wayang Golek, Bisnis "Sekarat" di Tengah Gempuran Zaman

Kompas.com - 29/08/2019, 15:17 WIB
Reni Susanti,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tatang Heryana (66) mengambil sebatang rokok dan korek. Sambil merebahkan badan di kursi kayu, ia lalu menyalakan rokok itu.

"Ini baru sempat istirahat," ujar Tatang sambil menghela napas panjang, saat ditemuidi galerinya, di Jalan Pangarang, Kota Bandung, akhir pekan lalu.

Jarum jam menunjukkan pukul 13.30 WIB. Sejak pagi ia sudah menerima empat rombongan tamu dari Belanda. 

Bulan Agustus ini memang jadi musim panen bagi wayang goleknya. Sebab, bulan ini menjadi masa puncak turis asing datang ke Bandung, dan membeli wayang.

"Pasar wayang saya turis asing. Biasanya turis-turis itu, terutama dari Eropa, datang pada Mei-Oktober."

Baca juga: Wayang Golek: Dakwah, Soekarno, hingga Bom Bali...

"Turis umumnya membeli wayang karena mereka suka, dan cinta budaya," tutur Tatang sambil sesekali menghisap rokoknya.

Namun, kisah ini berbeda jika sudah menyinggung masyarakat Indonesia. Warga lokal justru kian sedikit yang berkunjung ke galeri-galeri wayang seperti yang dimiliki Tatang.

Tatang menyebut, di luar bulan Mei-Oktober, masa itu disebut paceklik. Pada periode sepi itu dimanfaatkan Tatang untuk terus memproduksi wayang, untuk dijual di musim "panen".

Pembuatan satu kepala wayang membutuhkan waktu dua hari. Sebab karakter wajah menjadi yang tersulit dalam seluruh bagian pembuatan wayang.

"Ada 168 karakter dalam wayang, saya bisa mempelajari semuanya dalam tujuh tahun," ungkap dia.

Wayang tersebut dijual dengan harga berbeda dari Rp 20.000-500.000. Margin keuntungan yang diambil pun, -menurut Tatang, tidaklah banyak.

Kendati demikian, pendapatan itu masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk menyekolahkan keenam anaknya. 

Tetapi, beratnya kondisi pemasaran semacam itu membuat seniman wayang menjadi prekerjaan yang semakin tidak diminati.

Baca juga: Mengenang Masa Kecil Lewat Wayang Suket...

Menurut Tatang, anak muda lebih memilih bekerja sebagai kuli bangunan. 

Tatang membandingkan, keuntungan bersih dari satu kepala yang dijual Rp 200.000 hanya Rp 50.000. Itu pun bila laku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com