KOMPAS.com - Dugaan tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur berbuntut panjang.
Ribuan orang berdemo di Papua dan berakhir rusuh. Massa yang diselimuti rasa marah melakukan perusakan dan pembakaran di sejumlah tempat di Papua.
Ada kantor Majelis Rakyat Papua, kantor Telkom, Kantor Pos, dan SPBU di samping kantor BTN di Jalan Koti, Jayapura, yang menjadi korban amarah massa.
Tidak hanya itu, kemarahan para demonstran juga dilampiaskan dengan cara melemparkan batu ke arah kantor-kantor dan hotel di Jayapura.
Baca juga: Coba Simak, 9 Teknik Cerdik Kendalikan Rasa Marah
Menanggapi kondisi ini, Pengamat Psikologi Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad), Sri Rahayu Astuti menilai, rasisme yang terjadi di Jawa Timur bukan penyebab utama kericuhan di Papua.
“Rasisme bukan penyebab utama, tapi pemicu,” ujar Sri saat dihubungi Kompas.com, Minggu (1/9/2019).
Sri mengatakan, sebagian orang Papua mungkin ada yang menyimpan kekecewaan dan memiliki sentimen negatif terhadap etnis lain, atau bahkan mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Sri, bisa jadi kekecewaan tersebut selama ini tidak terlihat. Hingga ada pemicu kejadian di Surabaya yang di-blow-up sedemikian rupa.
“Begitu ada yang menyulut, meledaklah semua,” ungkap Sri.
Baca juga: Sekalipun Marah, Jangan Pernah Pukul Bokong Anak...
Disampaikan Sri, kekecewaan yang menumpuk bisa memicu emosi yang berbeda. Pertama, menarik diri dari lingkungannya.
Kedua, memicu emosi negatif seperti marah, dan berperilaku agresif seperti perusakan barang ataupun perilaku destruktif lain.
Emosi sifatnya menular. Ketika seseorang yang senasib dan menilai dirinya memiliki kesamaan dengan yang orang yang disakiti, dia akan ikut marah dan memihak kepada orang tersebut.
“Begitu juga dengan (kasus) Papua. Emosi itu memang menular,” ungkap dia.
Idealnya, virus tersebut diajarkan sejak dini di lingkungan keluarga.
Baca juga: Benarkah Orang dengan Tekanan Darah Tinggi Gampang Marah?