BrandzView
Konten ini merupakan kerjasama Kompas.com dengan Trinseo

Langkah Awal Jaga Kesehatan dan Lingkungan Dimulai dari Kemasan Makanan

Kompas.com - 06/09/2019, 08:03 WIB
Mikhael Gewati,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi


KOMPAS.com
– Di Jakarta, terutama di perkampungan penduduk rasanya tak sulit menemukan pedagang yang menjual Roti Bakar Bandung.

Selain “mangkal” atau berjualan di satu tempat, para penjual kudapan ini sering berkeliling ke pemukiman padat penduduk di Ibu kota untuk menjajakan dagangannya.

Dengan pilihan rasa cokelat, stroberi, keju, nanas atau kombinasi keempatnya, dipadu olesan mentega dan susu kental manis, Roti Bakar Bandung acap kali menggugah selera para pecinta kuliner.

Namun, di balik menarik dan lezatnya kudapan ini, tersimpan potensi bahaya bagi si penikmat. Penyebabnya, bukan dari kualitas roti, selai, dan bahan-bahan lain, tapi media pembungkus.

Ya, seperti diketahui, banyak penjual Roti Bakar Bandung yang biasa membungkus kudapan itu dengan kertas. Masalahnya, tak hanya kertas polos atau khusus pembungkus makanan, kadang-kadang ada pedagang yang memakai kertas koran dan buku bekas.

Dilansir laman Healthsite, Rabu (14/10/2015), makanan yang ditiriskan, disimpan atau dibungkus koran bisa menyebabkan kanker. Ini lantaran koran dicetak menggunakan tinta yang mengandung logam berat Pb (timbal).

Penelitian menunjukkan tinta bisa meresap ke dalam makanan dan bila dikonsumsi berbahaya bagi paru-paru, ginjal, hormon, serta memicu kanker.

Sebenarnya tak cuma koran dan kertas bertinta, kertas khusus pembungkus makanan pun berbahaya bagi kesehatan.

Mengandung bahan kimia berbahaya

Studi yang dipublikasi jurnal Environmental Science & Technology Letters menyatakan, kertas untuk pembungkus burger, nasi, sandwich, dan kentang, lalu kotak ayam goreng, dan kardus pizza mengandung bahan kimia sintetik.

Sementara itu, artikel Kompas.com, Kamis (7/12/2017) menuliskan, sejumlah penelitian menemukan kertas pembungkus makanan mengandung bisphenol A (BPA). Bahan kimia ini diyakini berbahaya bagi tubuh.

Ilustrasi sandwich yang dibungkus kertas khususShutterstock Ilustrasi sandwich yang dibungkus kertas khusus

Diberitakan WebMD, Kurunthachalam Kannan, seorang ilmuwan riset di New York State Department of Health menjelaskan, kandungan BPA pada kertas pembungkus makanan sangatlah tinggi.

Menurut ia, kadar BPA tinggi pada umumnya terdapat dalam kertas pembungkus makanan yang merupakan hasil daur ulang. Bubuk BPA digunakan untuk melapisi kertas supaya lebih tahan terhadap panas.

“Saat BPA masuk ke dalam tubuh, zat tersebut dapat meniru fungsi dan struktur hormon estrogen, sehingga memengaruhi proses dalam tubuh, seperti pertumbuhan, perbaikan sel, perkembangan janin, tingkat energi, dan reproduksi,” katanya.

Healthline, Selasa (17/12/2018), melansir 92 persen penelitian independen menemukan dampak negatif penggunaan BPA pada kesehatan diantaranya adalah sebagai berikut.

Pada wanita, efek negatif itu antara lain, yakni meningkatkan risiko keguguran saat hamil, menurunkan produksi sel telur sehat, membuat sulit hamil, dan meningkatkan risiko kanker payudara.

Sedangkan pada pria, paparan BPA membuat jumlah sperma mereka rendah sehingga meningkat risiko hingga 30-46 persen untuk menghasilkan embrio berkualitas rendah.

Para pria tersebut pun bisa sulit ereksi dan orgasme, serta meningkatkan risiko kanker prostat.

Di sisi lain, efek buruk BPA dapat membuat anak hiperaktif, agresif, rentan cemas dan depresi. Dampak ini akibat dari sang ibu yang terpapar BPA tinggi ketika mengandung.

Tak ramah lingkungan

Banyak yang mengira kertas pembungkus makanan ramah lingkungan, tapi fakta berkata lain.

Seperti diketahui, bahan dasar kertas berasal dari pohon. Jadi bila produksi kertas tidak diimbangi dengan keberadaan Hutan Tanaman Industri (HTI), maka lama-lama bisa menggerus lahan Hutan Alam.

HTI adalah kawasan yang dikhususkan untuk industri kertas. Mereka bisa menebang pohon buat dijadikan bahan dasar membuat kertas asal menanamnya kembali.

Namun, tak jarang banyak oknum-oknum tertentu yang melakukan pembalakan liar atau menebang pohon secara ilegal di Hutan Alam bahkan konservasi. Kayu-kayu hasil pembalakan ini pun tak dipungkiri bisa berakhir di industri kertas.

Green Peace Indonesia menyebutkan, sejak akhir 2015 hingga 2018 lebih dari 130.000 hektar (ha) kawasan hutan di Tanah Air hancur. Industri perkebungan kelapa sawit dan industri pulp and paper jadi pemicu paling besar penggundulan hutan atau deforestasi.

Kayu-kayu hasil pembalakan liar tergeletak di sepajang sungai Mahakam di KalimantanShutterstock Kayu-kayu hasil pembalakan liar tergeletak di sepajang sungai Mahakam di Kalimantan

Masih soal tak ramah lingkungan, pembungkus kertas ternyata susah untuk di daur ulang. Terkait ini dibenarkan oleh Business Development dari Indonesian Olefin, Aromatic and Plastic Industry Association (Inaplas) Budi Sadiman.

Kertas pembungkus makanan susah didaur ulang karena berlapis plastik,” kata Sadiman saat Kuliah Umum di Gedung Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, Rabu (8/10/2017), seperti dalam keterangan tertulisnya.

Sedangkan, Kepala Laboratium Teknologi Polimer dan Membran (LPTM) ITB Akhmad Zainal Abidin menjabarkan, daur uang kertas pemungkus makanan sangatlah tidak efisien.

Penyebabnya karena proses pemisahan lapisan plastik dan kertas itu memakan biaya sangat mahal. Padahal produsen kertas cenderung tidak mau memakai sampah kertas untuk membuat produk baru.

“Jadi, setiap kali ada produksi kemasan makanan kertas, artinya semakin banyak pohon yang harus ditebang,” papar dia saat kuliah umum di Fakultas Teknik Univeristas Indonesia (UI), Senin (18/12/2018).

Keluar dari jeratan

Berdasarkan data dan fakta tersebut, sebaiknya Anda harus berpikir dua kali saat mencari makanan atau camilan, terutama soal media pembungkusnya.

Jangan sampai rasa lapar yang dialami membuat Anda gelap mata ketika membeli makanan sehingga berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan sekitar.

Nah, salah satu solusi untuk mengeluarkan Anda dari jeratan tersebut adalah styrofoam.

Selidik punya selidik, kemasan ini ternyata ramah lingkungan dan aman untuk kesehatan bila digunakan sebagai wadah atau pembungkus makanan. Bagaimana bisa?

Akhmad Zainal Abidin menjabarkan, sytrofoam aman jadi kemasan makanan karena bahan utamanya mengandung zat polistirena.

“Sebenarnya, polistirena adalah material organik yang terbentuk dari karbon dan hidrogen. Sebuah material didefinisikan organik jika terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan oksigen,” ucap Zainal.

Menurut dia, meski styrofoam mengandung zat kimia stirena, namun kandungannya masih dalam batas aman, yaitu 0-43 part per million (ppm). Ini sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Lagi pula kandungan stirena sebesar ini tak jauh berbeda dengan di stroberi, kopi, dan kayu manis,” ucap Zainal.

Baik WHO, Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dan Food and Agriculture Organization menegaskan, residu stirena masih aman bagi manusia jika jumlahnya di bawah 5000 ppm.

Di Indonesia, pemakaian kemasan makanan polistirena sudah diizinkan oleh pemerintah pusat. Izin tersebut dikeluarkan oleh Badan POM Indonesia setelah meneliti 17 kemasan styrofoam.

Penggunaan styrofoam untuk wadah makananShutterstock Penggunaan styrofoam untuk wadah makanan
Kasubdit Standarisasi Produk dan Bahan Berbahaya, Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, Badan POM Indonesia, Ani Rohmaniyati menjelaskan, penelitian independen itu terjadi pada 2009.

“Hasilnya dalam 17 kemasan tersebut ditemukan bahwa residu ppm masih dalam angka yang sangat aman, yakni 0-43 ppm. Angka ini jauh di bawah level berbahaya untuk residu kemasan makanan,” kata Ani, dalam keterangan tertulisnya.

Meski aman, stryrofoam bukanlah wadah makanan yang bisa dimasukkan ke microwave.

Pastikan pula styrofoam benar-benar tidak rusak, bila ingin digunakan sebagai kemasan makanan berminyak serta berlemak, terutama jika masih panas,

Oleh karena itu, selalu pastikan kemasan yang dipakai masih dalam keadaan sempurna dan berlogo sesuai standar pemerintah, yakni segitiga dengan kode 6 dan PS.

Terkait ramah lingkungan, Kepala LPTM ITB Akhmad Zainal Abidin memaparkan, polistirena adalah kemasan yang paling berkelanjutan untuk lingkungan.

Pasalnya, kata dia, sampah polistirena 100 persen bisa digunakan kembali karena bisa dipecah dan dibentuk menjadi produk baru.

Lebih lanjut, ia menjelaskan dalam menajeman sampah kita sudah cukup familiar dengan konsep Reduced, Reused, dan Recycled (3R). Polistirena ini sudah lebih dari dari 3R bahkan 5R dengan penambahan Recovery dan Research.

“Pada Recovery, material sampah dari polistirena dapat dipecah, dipulihkan, dan diproduksi menjadi produk kimia yang bermanfaat, seperti monomer stirena dan material pembersih sulfur pada solar,” katanya.

Adapun dalam Research berarti menciptakan teknologi baru dan maju. Kini penggunaan limbah polistirena busa sendiri sudah bisa diolah menjadi bahan baku pembuatan beton ringan.

Tak cuma daur ulangnya yang ramah lingkungan, proses produksi styrofoam juga begitu. Ini sebab, pembuatan styrofoam mengonsumsi energi jauh lebih hemat dibandingkan produk pembungkus alternatif lain.

LTPM ITB menyatakan, jika dibandingkan dengan kemasan berbahan kertas yang dilapisi plastik, proses produksi styrofoam 50 persen jauh lebih hemat energi.

Bahkan bila dibandingkan dengan kemasan bio plastik, seperti polylactic asam (PLA) yang terbuat dari serat pati jagung, produksi styrofoam masih lebih hemat 30 persen energi.

Itu bisa terjadi lantaran busa pada polistirena mengandung 90 persen hingga 95 persen udara. Kemudian dalam proses pembuatannya busa polistirena mengonsumsi air jauh lebih sedikit dibandingkan pembungkus lainnya.

Karena 95 persen mengandung udara maka kemasan busa polistirena bisa dua sampai lima kali lebih ringan dibandingkan kemasan kertas. Hasilnya penggunaan styrofoam dapat mengurangi emisi kabondioksida ke udara.

Dampak lain dari hematnya energi dalam pembuatan styrofoam adalah ke biaya produksi yang lebih murah. Efeknya pun ke harga jual kemasan styrofoam yang lebih murah jika dibandingkan dengan kemasan kertas.

LTPM ITB mencatat harga satuan kemasan styrofoam pada awal 2018 mencapai Rp 200 – Rp 300. Untuk pedagang kaki lima (pkl), harga ini sangat ideal. Karena murah, pedagang pun tidak perlu membebani biaya pembelian kemasan ke konsumen.

Nah, dengan mengetahui fakta-fakta tersebut, seharusnya Anda kini tidak perlu khawatir lagi saat menggunakan styrofoam. Selain aman untuk kesehatan, penggunaan wadah ini juga ramah lingkungan.

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com