BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou

Jangan Buru-Buru Operasi, Penderita Kanker Usus Coba Baca Ini

Kompas.com - 03/10/2019, 10:30 WIB
Hotria Mariana,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Bustanul (54) masih mengingat jelas bagaimana perasaannya ketika divonis menderita kanker usus stadium tiga pada Agustus 2013 silam.

“Pokoknya yang paling menakutkan itu, dengar dari beberapa sumber, rate survive dari kanker usus ternyata cukup rendah,” ungkapnya yang saat ditemui Kompas.com tengah menikmati jam makan siang, Rabu (10/9/2019).

Ketakutan serupa dialami Umar (58), saat divonis mengidap kanker rektum stadium tiga pada September 2011 lalu.

Ketika itu, Umar bercerita bukan hanya ia yang merasakan takut, istrinya pun sampai stres memikirkan vonis memilukan.

“Istri saya kacau pikirannya, lari ke mobil usai mendengar keterangan dari dokter, malah dia sempat tiga hari tidak bisa tidur karena stres ,” kata Umar saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (17/9/2019).

Ya, bicara kanker, siapa pun tak mengharapkan penyakit tersebut hinggap pada dirinya.

Pasalnya, kanker merupakan penyebab kematian tertinggi nomor dua di dunia dengan jumlah 9,6 juta kasus di tahun 2018, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Apalagi, kanker bukan cuma mengakibatkan kematian dan rusaknya fisik, penderitanya juga rentan mengalami gangguan psikis, seperti yang disadur dari Kompas.com, Senin (4/2/2013).

Bahkan, masih dari sumber sebelumnya, penyakit kanker berimplikasi pula pada orang-orang terdekat penderita, seperti keluarga.

Kanker kolorektal

Perlu diketahui, kanker usus yang menyerang Bustanul dan kanker rektum yang menyerang Umar masuk ke dalam golongan kanker kolorektal.

Dikutip dari rilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kanker kolorektal terjadi di jaringan usus besar yang terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan, atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus).

Deteksi dininya dapat dilihat ketika buang air besar (BAB). Kompas.com, Selasa (14/8/2019) menyebutkan, gejala kanker kolorektal ditandai dengan adanya darah pada feses.

Selain itu, pola BAB yang berubah, misalnya dari yang hanya dua kali sehari menjadi sering hingga sampai 10 kali, juga menjadi gejala kanker tersebut.

Namun, karena gejalanya mirip dengan penyakit wasir, tak sedikit penderita kanker kolorektal telat mendapat pertolongan.

Makanya, untuk mendapatkan hasil akurat, penderita yang mengalami gejala seperti itu, disarankan melakukan tindakan kolonoskopi (meneropong usus dengan alat bowel scope).

Kembali merujuk data Kemenkes, jumlah kasus baru kanker kolorektal yang terjadi di Tanah Air selama 2018 sebanyak 12,1 per 100.000 penduduk usia produktif.

Kanker tersebut berada di urutan ketiga jenis kanker yang paling banyak diderita, setelah kanker payudara dan kanker paru.

Bukan cuma mematikan, tapi peluang sembuh dari kanker kolorektal pun terbilang cukup rendah, apalagi bila sudah mencapai stadium tiga dan empat, sebagaimana dikutip Kompas, Senin (3/12/2018).

Berangkat dari fakta-fakta di atas, maka wajar saja Bustanul dan Umar dirundung ketakutan. Terlebih saat dihadapkan dengan pilihan pengobatan yang menurut mereka tidak mengenakkan.

Bustanul mengatakan, saat itu dokter yang memvonisnya menyarankan untuk melakukan operasi pemotongan usus.

“Operasi kanker seperti ini, kami tidak tahu berapa panjang usus yang harus dipotong. Kalau potongnya cukup panjang hingga ke anus, maka organ tersebut tidak bisa dipakai lagi,” ungkapnya menirukan ucapan sang dokter.

Bahkan, Bustanul menambahkan, metode tersebut berisiko mengganggu vitalitas.

Umar (58), saat menjalani pengobatan kanker rektum stadium tiga pada Oktober 2011 laludok. St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou Umar (58), saat menjalani pengobatan kanker rektum stadium tiga pada Oktober 2011 lalu

Pernyataan senada diutarakan Umar. Apalagi, kanker rektum yang dideritanya saat itu panjang tumornya sudah mencapai 5 centimeter, diameter 4 centimeter, dan hanya berjarak 2 centimeter dari anus.

"Saya tidak mau, karena (usus) dipotong dan dipasang kantong kolostomi (kantong feses) di luar, itu sebenarnya yang membuat saya dan istri down," ungkap Umar dengan ekspresi bergidik.

Memang benar, di Indonesia, untuk dapat sembuh dari kanker kolorektal pasien harus menjalani pengobatan operasi, kemoterapi, dan radiasi, sebagaimana dilansir Kompas.com, (3/12/2018).

Bahkan, untuk mencegah risiko kambuh, tak jarang pembedahan juga akan dilakukan pada jaringan sekitar tumor.

Kendati tujuannya untuk sembuh, namun metode pengobatan tersebut dapat menimbulkan komplikasi, terutama pada kasus tumor di sekitar anal atau anus.

Itu terjadi karena setelah operasi, biasanya dibutuhkan pembuatan kantong (kolostomi) dan rekonstruksi anus buatan, seperti yang diungkapkan Umar.

Akibatnya, tak jarang penderita mengalami berbagai tekanan psikologis. Mulai dari ketidaknyamanan ketika proses perawatan hingga beban tersendiri saat pasien akan kembali ke masyarakat.

Tentu dengan efek yang seperti itu, baik Bustanul maupun Umar memilih untuk segera mencari solusi lain alias second opinion.

Pengobatan yang dipilih

Beruntung, berkat usaha mencari informasi pengobatan dari sana sini, keduanya bisa sembuh dari kanker kolorektal.

Kesembuhan yang didapat pun sesuai keinginan mereka, yaitu sembuh tanpa operasi di St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou.

Mereka menjalani pengobatan kanker tersebut pada tanggal yang sama, yaitu 2 Oktober, namun dalam tahun berbeda. Umar di tahun 2011, sedangkan Bustanul pada 2013.

Adapun metode pengobatan kanker tanpa operasi yang dijalani Bustanul maupun Umar, terdiri dari intervensi, imunoterapi, dan cryosurgery.

Metode intervensi, salah satu pengobatan minimal invasif yang dimiliki St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou.dok. St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou Metode intervensi, salah satu pengobatan minimal invasif yang dimiliki St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou.
Metode intervensi merupakan salah satu pengobatan minimal invasif alias minim luka yang dimiliki St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou.

Sebenarnya, intervensi merupakan kemoterapi. Namun yang membedakan dari kemoterapi konvensional, pada metode ini obat yang digunakan langsung mengarah ke pusat sel-sel kanker lewat proses kateterisasi.

Metode intevensi ini juga disebut sebagai kemo bertarget, karena dilakukan berkali-kali hingga sel-sel kanker mengecil, bahkan hilang.

Dengan cara kerja seperti itu, maka efek obat tidak mempengaruhi bagian tubuh lainnya yang sehat, sebagaimana kerap terjadi pada kemoterapi konvensional.

Kemudian pengobatan minim luka selanjutnya adalah imunoterapi yang merupakan terapi biologis. Cara kerjanya, yaitu dengan menyuntikkan sel imun anti kanker ke dalam tubuh pasien.

 metode imunoterapi dok. St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou metode imunoterapi

Kemudian pengobatan minim luka selanjutnya adalah imunoterapi yang merupakan terapi biologis dengan cara mengambil darah pasien dan dikembangbiakkan Natural Killer Cell (NK Cell).

NK Cell sendiri merupakan teknologi yang mampu membersihkan sel kanker dalam tubuh hingga ke pembuluh darah.

Selanjutnya, darah pasien yang dikembangbiakkan tadi kembali disuntikkan ke dalam tubuh pasien.

Tak hanya mematikan sel tumor secara langsung, metode tersebut dapat pula merangsang tumbuhnya sel-sel kekebalan tubuh yang berguna melawan sekaligus mencegah risiko timbulnya kanker kembali.

Apalagi, bila metode imunoterapi dikombinasikan dengan terapi intervensi, maka hasil pengobatan kanker kolorektal akan lebih maksimal alias sembuh total.

metode pengobatan kanker cryosurgerydok. St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou metode pengobatan kanker cryosurgery

Lalu pengobatan minimal invasif lainnya bernama cryosurgery. Metode ini memanfaatkan peralatan khusus seperti jarum, mesin pencitraan, dan dua jenis gas.

Cara kerjanya, dengan menggunakan jarum, gas argon bersuhu kurang lebih 160 derajat Celcius disuntikkan ke sel kanker hingga beku menyerupai bola es.

Sel kanker yang beku tadi kemudian dipanaskan dengan gas helium bersuhu lebih dari 40 derajat celcius hingga mati.

Metode cryosurgery ini dianggap lebih efektif mengobati kanker karena tidak membutuhkan pembedahan besar seperti operasi konvensional.

Berkat metode-metode pengobatan di atas, Bustanul dan Umar kini bisa bernafas lega lantaran sudah sembuh dari penyakit kanker yang pernah mereka derita.

Bahkan, waktu yang dihabiskan untuk menjalani pengobatan pun terbilang cukup singkat, padahal stadiumnya cukup tinggi.

Bustanul hanya menghabiskan waktu kurang lebih 30 hari, sementara Umar hingga tujuh minggu. Durasi tersebut ditentukan dari kondisi pasien dan tingkat keparahan kanker.

Sebagai informasi, St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou merupakan rumah sakit khusus kanker yang berlokasi di Guangzhou, Cina Selatan.

Rumah sakit tersebut memiliki kantor perwakilan yang tersebar di berbagai negara. Salah satunya Indonesia yang berada di Jakarta, Surabaya dan Medan.

Untuk memudahkan penderita kanker memperoleh kesembuhan, masing-masing kantor perwakilan tadi menyediakan layanan untuk pengurusan visa dan tiket pesawat.

Tak hanya memiliki teknologi pengobatan kanker terkini, St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou juga menyediakan fasilitas penjemputan di Airport Guangzhou.

Bahkan dari segi perawatan, satu pasien akan ditangani secara khusus untuk satu tim dokter khusus yang dikepalai oleh seorang profesor.

Soal bahasa, pasien tak perlu khawatir. Sebab, St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou menyediakan jasa penerjemah bahasa Indonesia 24 jam untuk memudahkan komunikasi pasien saat menjalani pengobatan,

Selain itu, berbagai fasilitas lain seperti laundry turut disediakan untuk menunjang kenyamanan pasien.

Untuk kemudahan informasi, St. Stamford Modern Cancer Hospital Guangzhou menyediakan layanan konsultasi online yang bisa diakses di sini.

Ada pula call center di nomor +62812-978-978-59 yang bisa dijangkau melalui telepon atau WhatsApp.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com