KOMPAS.com – Embusan angin masuk ke sela-sela jendela mobil. Segar dan menenangkan, seiring dengan pemandangan rindangnya pepohonan di kiri-kanan jalan.
Dalam perjalanan menuju Gunung Susuru, Kaduluwung Situraja, Sumedang, Minggu (13/10/2019), Kompas.com nyaris tak melihat kendaraan lain.
Yang terlihat hanya lebatnya hutan dan mulusnya jalan aspal kecil.
Baca juga: Berbekal Sakit Hati, Kopi Kadiran dari Sumedang Melesat ke Mancanegara
Di ujung jalan terdapat satu rumah bilik yang dilengkapi saung, kolam ikan, dengan air gunung yang mengalir deras meski musim kemarau.
“Jalan bagusnya cuma sampai situ, deket. Sisanya mah jelek,” ujar sang pemilik rumah, Shaleh Raspan sambil menunjuk ke arah jalan.
Shaleh mengatakan, jalan mulus itu dibuat, salah satunya, karena kehadiran Kopi Kadiran yang diproduksinya.
Sejak memutuskan masuk ke industri hilir, nama Kadiran melejit.
Tak hanya di Sumedang, kopinya sudah masuk ke Australia, Jerman, Jepang, Amerika, Singapura, Pakistan, dan lainnya.
Pada tahun 1990-an saat masih bertugas di PT Kereta Api Indonesia (KAI) ada seseorang yang menawarkan tanah dengan harga murah, Rp 800.000 per hektar.
Bermodalkan percaya, Shaleh membeli empat hektar tanah tersebut dengan harga lebih tinggi Rp 980.000 per hektar.
Syaratnya, si penjual harus menanami hutan tersebut dan membersihkan rumput liarnya.
Begitu ia mengecek tanah yang dibeli, ia terdiam. Tanah yang dibeli merupakan hutan.
Jangankan kendaraan, selama sepekan berada di sana, ia baru bertemu satu orang, yakni pemilik tanah di daerah tersebut.
Ia pun berpikir, apa yang akan dilakukannya setelah pensiun. Memasuki tahun 2005, setahun sebelum pensiun, ia meminta bibit kopi ke kerabatnya di Ciamis.