KOMPAS.com - Baru saja saya kembali dari Tabalong, kabupaten dengan jarak tempuh 6 jam bermobil dari bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Ngeri-ngeri sedap bagi yang tak terbiasa berkendara tanpa lampu jalan di tengah malam, memburu waktu tiba dengan kecepatan lumayan tinggi.
Kabupaten ini tidak akan familiar di telinga wisatawan, karena memang bukan destinasi wisata – karena yang paling ikonik adalah tambang batu bara terbesar di belahan bumi selatan dan ke empat terbesar di dunia.
Bukan karena diundang perusahaannya, tapi saya kebetulan digandeng dinas kesehatan yang merasa masih perlu memerbaiki status gizi masyarakat melalui tenaga kesehatan mereka yang handal.
Apa yang bisa kita temui sebetulnya tak jauh beda dengan pelosok mana pun di negri ini. Mulai dari pergeseran gaya hidup, pilihan makan hingga sederet masalah yang timbul kemudian akibat itu semua.
Baca juga: Kesehatan atau Hiburan: Lebih Murah Mana?
Desa yang justru paling menghasilkan, kaya dengan hasil bumi dan ikan – menjadi tempat dimana gizi buruk terbanyak.
Rupanya hasil bumi dan tangkapan adalah aset yang sekadar menghasilkan uang. Dengan uang yang banyak, semua bisa dibeli – termasuk apa yang dimakan – yang sudah amat berbeda dengan konsumsi generasi sebelumnya.
Jika di Papua orang berjualan pisang untuk bisa beli pisang goreng kekinian, maka desa di kabupaten Tabalong menjual ikan untuk bisa sarapan apa saja di warung setiap pagi. Karena masak sendiri itu sudah dianggap ‘merepotkan’.
Tidak semua keluarga seperti itu, tentu saja. Tapi fenomena pergeseran semakin banyak. Anak-anak dan suami menyukai soto banjar dengan ‘penyedap rasa’.
Bahkan, anak sekarang tidak lagi bisa menyebut mana kapulaga dan adas, apalagi rempah khas bernama kas kas.
Lebih menyedihkan, penjual makanan lebih bangga bisa menyajikan mantau – yang sebetulnya bakpao terigu dari peradaban pendatang. Mantau goreng pula, dengan isi daging cincang.