Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Covid-19: Ujian Kesehatan, Kesadaran, dan Kewarasan

Kompas.com - 10/03/2020, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Tadinya saya tidak mau dianggap latah mengungkit masalah Covid-19 – yang jika penyebarannya meledak di abad pertengahan, bisa dikira fenomena kutuk.

Tapi melihat apa yang terjadi hingga hari ini, khususnya perilaku manusia dalam mengantisipasi ancaman kesehatan dan kematian, rasanya seperti kesempatan yang sayang untuk dilewatkan.

Mendadak sontak semua orang sadar diri untuk cuci tangan lebih sering, bahkan dengan cara yang benar – padahal sudah bertahun-tahun Kementerian Kesehatan berjuang melalukan sosialisasi cuci tangan pakai sabun.

Baca juga: Tak Perlu Panik Berlebih, Simak Tips Cegah Infeksi Covid-19

Begitu pula dokter-dokter yang diwawancara sana–sini langsung hafal untuk menyebut soal pentingnya meningkatkan daya tahan tubuh dan rajin berjemur matahari.

Padahal sebelumnya, yang paling pertama disebut adalah ‘minum obat dengan teratur’.

Ada bagusnya juga sekarang kita menghadapi penyakit mengerikan yang belum ada obatnya – dan mungkin tidak akan ada, seperti virus-virus lainnya. Sehingga, preventif dan promotif menjadi tumpuan utama untuk tidak terinfeksi.

Walaupun angka kematiannya sekitar 3%, jauh lebih rendah dari kebanyakan penyakit menular lainnya, Covid-19 menimbulkan kepanikan luar biasa yang mendadak mengubah perilaku seluruh orang di dunia.

Daya tular yang tinggi, informasi simpang siur yang lebih banyak hoaks ketimbang data, serta naluri ‘untuk bertahan hidup’ membuat semua orang tiba-tiba waspada seakan bangun dari tidur lama.

Tak kalah menariknya respon sosial. Mulai dari oportunis ekonomis yang melihat peluang cari uang hingga aksi borong keperluan bertahan seakan-akan besok kiamat.

Baca juga: Seberapa Mematikan Infeksi Virus Corona?

Belajar dari fenomena Wuhan: tautan berita hingga foto-foto mencekam dari hari ke hari membuat kesadaran akan wabah muncul.

Sayangnya, informasi itu tidak diolah oleh otak depan alias neo korteks manusia untuk dijadikan peta pembelajaran sekaligus rencana tertata menghadapi bencana.

Yang ada, stimulus apa yang dilihat dan didengar langsung mengaktivasi survival brain (jika tidak mau dibilang reptilian brain), sehingga reaksi yang timbul adalah panik dan ketidakwarasan.

Jauh dari kecerdasan, apalagi bicara munculnya literasi. Mulai dari borong masker hingga menimbun sembako.

Mekanisme pertahanan diri justru membuat manusia kelihatan tidak tahu diri. Yang mestinya si sakit menggunakan masker agar tidak menulari orang melalui percikan batuk dan bersin, atau cipratan tak sengaja saat berbicara, malah yang tidak sakit ketakutan sendiri.

Mereka menggunakan berbagai versi masker yang mustahil mencegah virus, karena molekul virusnya saja jauh lebih kecil ketimbang bahan maskernya.

Baca juga: Cerita Pemuda Wuhan yang Terinfeksi Corona dan Sembuh

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com