Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tertawalah Lebih Sering Sebelum Pandemi Ini Berakhir

Kompas.com - 12/01/2021, 11:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Bonar Hutapea

"Humor is just another defence against the universe." – Mel Brooks (Sarkis, 2011)

DENGAN angka kematian yang sudah mencapai 1.943.131 dari 90.691.625 kasus di dunia serta dampak buruknya pada hampir semua segi kehidupan, Covid-19 ini tak pelak lagi menjadi sedemikian menakutkan.

Sejak dinyatakan sebagai pandemi global oleh WHO pada Maret 2020, belum ada pihak mana pun yang berani meyakini juga menjelaskan bagaimana dan kapan Covid-19 ini akan berakhir.

Apalagi dengan kabar tentang varian baru yang lebih cepat penyebarannya ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan (Gallagher, 2020), dan di Jepang yang juga berbeda varian daripada yang ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan tersebut (KompasTV, 2021).

Tidak mengherankan, meski vaksinasi sedang diupayakan, masih menjadi tanda tanya bagaimana dampak selanjutnya.

Jika Covid-19 saja belum jelas penanganannya di dunia, apalagi jika benar muncul varian barunya. Intinya, saat ini dunia berada dalam ketidakpastian yang ditimbulkan pandemi ini.

Baca juga: Berbagai Pertimbangan dan Hasil Uji Klinis, Dasar BPOM Merilis Izin Vaksin Sinovac...

Bersama dengan berbagai pengalaman tak menyenangkan seperti keharusan menjalani karantina, pembatasan sosial berskala besar, keharusan menerapkan protokol kesehatan, masalah ekonomi, serta stigma dan diskriminasi, menyebabkan sejumlah masalah psikologis dan perilaku.

Gejala-gejala stres pascatrauma, ketakutan dan kecemasan, frustrasi, rasa bosan yang luar biasa, kemarahan, bahkan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga juga banyak ditemukan (Brooks et al., 2020).

Sejumlah masalah psikis ini dapat memperburuk kondisi kesehatan. Bahkan, dalam beberapa kasus juga ditemukan adanya keinginan dan upaya bunuh diri (Khan et al., 2020).

Baca juga: Penting, Pahamilah Batasan Kecemasan yang Tak Normal

Lalu, apa yang disarankan para ahli untuk menanggulangi masalah mental dan perilaku ini?

Sesi-sesi konseling dan psikoterapi secara daring (Feijt et al., 2020; Harususilo, 2020; KompasTV, 2020), termasuk konseling pastoral (mis. Situmorang, 2020), sudah dicoba ditawarkan rekan-rekan psikolog dan praktisi kesehatan mental, terutama untuk meningkatkan ketangguhan atau daya lenting (resiliensi), sebagai salah satu yang terpenting selama pandemi (Habersaat et al., 2020).

ILUSTRASI - Penumpang pesawat menunggu di bandara dengan menerapkan protokol social distancing. Shutterstock/People Image Studio ILUSTRASI - Penumpang pesawat menunggu di bandara dengan menerapkan protokol social distancing.

Salah satu cara yang dapat dilakukan secara mandiri oleh setiap orang sebagai mekanisme penanggulangan yang efektif (coping) dalam menghadapi kondisi sulit ini adalah humor.

Humor bisa sebagai penyanggah terhadap dampak negatif dari stres, sekaligus sebagai cara untuk menghadapi situasi sulit ini karena membantu agar lebih mudah dan lebih cepat dalam penyesuaian diri (Samson et al., 2014).

Cara seperti ini, menurut sejumlah penelitian, terbukti sangat bermanfaat bahkan dalam situasi yang berat sekali pun. Misalnya, selama perang dunia, termasuk dalam kamp konsentrasi (Samson et al., 2014).

Baca juga: Usir Cemas dengan Terapi Tertawa

Salah satu contoh yang paling mengesankan adalah kisah Viktor Emil Frankl, seorang penyintas kamp konsentrasi Nazi yang menuliskan pengalamannya dalam buku yang terkenal dan salah satu yang paling banyak dicetak ulang serta diterjemahkan ke berbagai bahasa, Man's Search for Meaning.

Frankl mengakui humor sebagai senjata jiwa dalam perjuangan untuk bertahan hidup saat teman-temannya yang lain meninggal lebih cepat karena sangat stres, depresi bahkan mencoba bunuh diri karena situasi yang sangat mengerikan (Henman, 2001).

Frankl mengajak temannya bersepakat dan berjanji satu sama lain untuk membuat setidaknya satu cerita lucu setiap hari mengenai apa yang bisa terjadi sehari setelah mereka dibebaskan.

Cerita-cerita lucu ini membuat para tahanan sejenak lupa akan derita mereka dan menemukan arti kehidupan (makna hidup).

Baca juga: 10 Hal yang Menjauhkanmu dari Kebahagiaan

Ilustrasi bahagiashutterstock Ilustrasi bahagia

Menangani emosi

Mengapa humor bisa membantu daya juang dan meningkatkan ketangguhan? Ya, karena orang yang humoris cenderung melihat segi positif dari situasi dan coping dengan cara menangani emosi  negatif dengan baik selain berfokus pada penyelesaian masalah yang menjadi sumber stres (Abel, 2002).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com