Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Menyoal Otonomi Moral Pelaksanaan Protokol Kesehatan

Kompas.com - 20/01/2021, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Dua bulan lagi genap setahun secara ‘ofisial’ Covid-19 disebut telah merambah Indonesia, walaupun sebelumnya disangkal habis-habisan, mengandaikan kita negeri kaya matahari dan rakyatnya takwa berdoa.

Selama hampir setahun, kita masih gagap dengan istilah protokol kesehatan yang begitu luwesnya dipelintir demi berbagai kepentingan.

Geger paling ‘trending’ terjadi saat seorang artis yang bernasib mujur, dianggap mewakili generasinya berjejer bersama presiden dan petinggi negeri menerima vaksinasi perdana.

Baca juga: Belajar dari Vaksinasi BCG: Tak Ada Satu Jurus Jitu Buat Sehat

Celakanya, di hari yang sama protokol kesehatan langsung ternoda: apa pun alasannya, melepas masker di tengah publik adalah nista.

Secara terang-terangan belum ada 24 jam vaksinasi pertama masuk, belum lagi vaksinasi kedua yang menggenapi kemampuan tubuh membuat kekebalan, arogansi keartisan membuat muak para tenaga kesehatan dan semua orang yang berhak mendapat perlindungan sama.

Dikejar hujatan dan tekanan, seperti biasa permintaan maaf begitu mudahnya terucap. Tapi di balik itu semua, masih tersisa ‘kengeyelan’ dan pembenaran diri mengatasnamakan protokol kesehatan – yang katanya dijalankan ketat sebelum masuk rumah pesta.

Pertanyaan menarik, apa sih protokol kesehatannya? Tes rapid antigen? Cuci tangan dengan guyuran desinfektan?

Di dunia gemerlap dan pertelevisian yang menuai rating dan pengikut, ternyata istilah protokol kesehatan disitir dengan cara masing-masing.

Penyalahgunaan metoda testing untuk keperluan skrining yang disebut tes cepat alias rapid test pun jadi andalan.

Kali ini lebih canggih: antigen rapid test. Yang tidak perlu menunggu tubuh punya antibodi atau tidak.

Pesta kawin para sultan, pertemuan-pertemuan di hotel untuk kelompok eksklusif hingga lokakarya perusahaan bertema ‘outing’ meniru protokol pengkolan ini.

Tujuannya satu: mengenyahkan masker yang justru menjadi pelindung utama dalam protokol kesehatan.

Masker dianggap penghalang ekspresi wajah, menutup kecantikan, mengganggu artikulasi, bahkan ada yang bilang merusak kejernihan mikrofon. Se-‘receh’ itu alasannya dibanding harga mahal penularan sebagai risiko yang harus dibayar.

Dengan spekulasi keakuratan tes dan tanpa pemahaman makna hasil negatif atau positif palsu, alat tes dengan mudah didapatkan di berbagai toko online.

Produk asli, abal-abal atau merek tiruan tidak penting. Yang penting, memberi ketenangan psikologis. Itulah yang terjadi saat ini.

Baca juga: Sehat Dulu Baru Cari Uang atau Cari Uang Buat Sehat?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com