Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/02/2021, 20:30 WIB
Ryan Sara Pratiwi,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Sumber Her World

KOMPAS.com - Mereka yang sedang meniti karier dan mulai naik tingkat lebih senior sering kali harus menghadapi keraguan dari dalam diri sendiri. Perasaan tidak percaya diri dan merasa ketakutan kita kurang cukup baik adalah salah satunya.

Kondisi itu disebut juga dengan sindrom imposter. Sindrom ini juga telah diakui sebagai masalah mental dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) atau panduan resmi penyakit mental.

"Sindrom ini merajalela di kalangan  wanita  yang sukses. Banyak yang mempertanyakan kemampuan mereka dan berpikir keberhasilan apa pun adalah kebetulan," kata Jillian Parekh, yang memiliki gelar dalam konseling psikologi, analisis konflik dan manajemen.

Baca juga: Ramai di Media Sosial, Apa Itu Sindrom Imposter?

Menurut Psikolog Adityana Kasandra Putranto, sindrom imposter termasuk gangguan cemas.

"Kalau dalam klasifikasi diagnosa psikologi, masuknya gangguan cemas," ujar Kasandra saat dihubungi Kompas.com, Jumat (3/7/2020).

Wanita bekerja yang mengalami sindrom ini akan mengecilkan kesuksesan mereka, terlalu banyak mengonsumsi informasi untuk merasa tahu lebih banyak, dan terus-menerus memperbaiki pekerjaan untuk memastikan yang dilakukannya "cukup baik".

Kadang-kadang ini menyebabkan mereka bekerja berlebihan dan kelelahan (burnout). 

Jika kita memiliki tanda-tanda tersebut, ada cara untuk membantu kita membangun kembali harga diri, serta kepercayaan diri untuk mengejar prestasi.

1. Mengukur sindrom imposter

Mulailah dengan mengikuti tes seperti Clance IP Test untuk melihat di mana peringkat dan sejauh mana kita menderita sindrom imposter.

Tes tersebut dirancang untuk mengukur ketakutan seseorang akan evaluasi, takut tidak dapat mengulangi kesuksesan, dan takut kurang mampu daripada yang lain.

Jangan terkejut dengan seberapa banyak kita berhubungan dengan skenario yang diilustrasikan.

Baca juga: Overthinking dan Gangguan Kecemasan, Apa Itu dan Bagaimana Cara Mengatasinya?

Bekerja di atas tempat tidur menjadi kebiasaan banyak orang saat penerapan sistem WFHVolodymyr Zakharov Bekerja di atas tempat tidur menjadi kebiasaan banyak orang saat penerapan sistem WFH

2. Mengapa wanita lebih rentan

Wanita memang sangat rentan terhadap sindrom imposter. Hal ini karena pengaruh norma sosial dan budaya, serta harapan yang membentuk cara berpikir dan bertindak pada perempuan.

"Begitu banyak wanita muda yang diajarkan untuk lebih dilihat bukan didengar, tidak membual tentang pencapaian kita demi menjaga perasaan orang, dan memvalidasi nilai-nilai eksternal ketimbang mencarinya dalam diri kita sendiri," katanya.

Baca juga: Intip 7 Tips Membesarkan Anak yang Percaya Diri

3. Tidak semua imposter sama

Sindrom ini memiliki fase yang berbeda, dan tidak umum bagi wanita untuk mengalami fase yang bersamaan pada tahap kehidupan mereka.

Misalnya, kecenderungan untuk terlalu banyak mendapatkan informasi dan menunda-nunda cenderung memengaruhi karier wanita. Terkadang, hal itu bisa bermanifestasi sebagai emosi yang menyabotase diri untuk merasa tidak cukup baik.

Terkadang ketika sudah di posisi senior pun, perasaan tidak cukup baik itu masih membayangi. 

Menurut Parekh, hal itu membuat seseorang terus mencari validasi eksternal.

Baca juga: Benarkah Pemimpin Perempuan Lebih Unggul Hadapi Krisis?

4. Akar dari sindrom imposter

Seperti kebanyakan perilaku disfungsional, pola negatif biasanya berakar dari masa kanak-kanak seseorang.

Melihat masa lalu juga bisa menjadi solusi dan ketika dilakukan dengan benar dapat secara permanen membawa perubahan yang positif.

"Saya selalu mengingatkan klien saya, bahwa ketika mereka merasa diri sangat rendah dan negatif, bayangkan diri mereka di masa kecil," sarannya.

"Di saat itu kita akan merasakan menjadi seseorang yang tidak perlu melakukan sesuatu untuk mendapat pujian dari luar," sambung dia.

Mengatasi sindrom imposter secara rutin dapat melawan pikiran negatif dan membuat perasaan ini tidak faktual. Sehingga, tidak ada lagi yang menghalangi pencapaian kita.

Baca juga: Jangan Remehkan Manfaat Menulis Jurnal

5. Menghadapi sindrom imposter

Sisi mana pun dari skala sindrom imposter yang kita jalani, rasa tidak layak, dan pikiran negatif tidak boleh diabaikan.

 

Parekh menyarankan beberapa strategi sederhana untuk mengatasinya.

• Membuat jurnal pencapaian

Orang-orang yang menderita sindrom imposter selalu melihat apa yang harus mereka capai agar dianggap baik, daripada menilai bukti mengapa mereka sudah punya sederet hal yang harus dibanggakan.

Halaman:
Sumber Her World
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com