Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Herd Stupidity, Bukan Sekadar Masalah Kebodohan Komunal

Kompas.com - 22/06/2021, 20:19 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Media sosial diramaikan dengan istilah herd stupidity yang dilontarkan oleh epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono.

Pria yang melabeli dirinya sebagai juru wabah ini nampaknya geram dengan kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia. Alih-alih semakin baik, situasinya semakin buruk dengan perilaku masyarakat yang tidak kondusif.

Ia menyatakannya dalam salah satu cuitan di akun Twitter miliknya @@drpriono1.

"Indonesia sudah lama dalam kondisi "Herd Stupidity". Perilaku Manusianya yg dorong replikasi virus, memperbanyak diri dan berubah menjadi lebih mudah menular. Manusia yg mendapat amanah jadi pejabat dan manusia-manusia lain yg tidak berperilaku 5M & enggan divaksinasi."

Istilah ini langsung menarik minat publik karena kemiripannya dengan herd immunity, kekebalan komunal yang sebelumnya sempat diharapkan mampu menangkal penyebaran virus Corona.

Ironisnya, malah muncul kebodohan komunal alias herd stupidity yang membuat lonjakan kasus Covid-19 tak terbendung.

Baca juga: Epidemiolog Pandu Riono: Jangan Persulit Syarat Penerima Vaksin Covid-19

Herd stupidity terjadi karena kesalahan bersama

Dicky Chresthover Pelupessy, Ph.D., Psikolog Sosial Universitas Indonesia mengatakan istilah herd stupidity itu memang merupakan pelesetan dari herd immunity.

Label yang dipakai oleh koleganya itu sebenarnya bukan kata yang baru. Namun memang jarang digunakan di muka publik dan baru terekspos saat ini saja.

Ia mengakui istilah itu, meski agak sedikit keras, sesuai menggambarkan situasi sekarang. Banyak orang bertindak tidak bijaksana sehingga menyebabkan fase kritis dengan lonjakan kasus yang ekstrem.

Menurutnya, kondisi yang dilabeli sebagai kebodohan komunal ini terjadi karena berbagai hal. Bukan hanya karena masih ada golongan yang tidak percaya akan adanya Covid-19, seperti yang dituduhkan banyak orang.

Baca juga: Libur Lebaran, Puluhan Wisatawan di Pantai Gunungkidul Tidak Pakai Masker

"Kesalahan bersama, bukan cuma terjadi karena warga atau karena banyak yang tidak percaya Corona, vaksin atau lainnya," terangnya kepada Kompas.com pada Selasa (22/06/2021).

Ada banyak faktor yang berkontribusi misalnya masyarakat sudah bosan dengan pandemi, muak dengan inkonsistensi pemerintah, bingung, dan akhirnya abai.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga cenderung buruk termasuk dalam hal implementasi dan pengawasannya.

Kondisi gelombang kedua seperti yang terjadi sekarang, menurut Dicky, berawal dari kebijakan masa mudik Lebaran yang terus berubah-ubah.

Dari yang awalnya dilakukan pelarangan ketat sampai akhirnya diperbolehkan berwisata dengan sejumlah catatan.

Kombinasi berbagai hal ini kemudian membuat masyarakat nekat melakukan mobilitas dan abai pada protokol kesehatan. Padahal perilaku ini berbahaya bagi kesehatan pribadi maupun orang sekitarnya.

Ia mengingatkan, kita harus kembali patuh menjalankan protokol kesehatan agar kondisi membaik. Selain itu, penting pula untuk mengingatkan orang terdekat di sekitar kita agar kembali bersama-sama melawan pandemi ini.

Baca juga: Berapa Besar Risiko Melakukan 9 Aktivitas Ini Selama Pandemi Covid-19?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com