Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/07/2021, 20:08 WIB
Anya Dellanita,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Bicara soal mempelajari bahasa baru, nampaknya peribahasa “Alah bisa karena biasa” nampaknya benar-benar berlaku.

Pasalnya, sebuah penelitian yang berfokus pada bagaimana bahasa bisa menempel di otak menemukan bahwa.

Mengutip Science Daily, penelitian yang dilakukan oleh Lilli Kimppa dari University of Helsinki tersebut memantau cara otak kita merespons kata-kata baru dalam periode pemaparan yang singkat.

Dalam penelitiannya, Kimppa menggaet beberapa sukarelawan berbahasa Finlandia dan mengukur respons saraf para relawan dengan electroencephalography (EEG) selama mengerjakan tugas lisan yang menyertakan kata-kata berulang dalam bahasa asli Finlandia dan bahasa non-asli mereka.

Kata-kata diberikan hanya selama 30 menit saja dan dalam dua kondisi tertentu, yaitu harus mendengarkan kata-kata itu secara pasif, atau ikut mengulangnya.

Peningkatan kondisi otak terhadap kata-kata baru tersebut juga diteliti dalam kondisi mendengarkan.

Dalam simpulan penelitian, ditemukan bahwa kata-kata yang cepat dan berulang menunjukkan respons lebih baik. Artinya, orang yang ikut mengulamg kata tersebut akan lebih mudah mengingat bahasa baru.

Baca juga: Cara Paling Gampang Belajar Bahasa Asing

“Tidak seperti respons pada kata-kata yang telah diketahui, kata-kata baru menunjukkan adanya peningkatan kondisi otak di antara awal dan akhir paparan pada korteks frontal dan temporal kiri, yang ditafsirkan sebagai penumpukan sirkuit memori saraf,” kata Kimppa.

“Magnitudo peningkatan kondisi otak ini memiliki korelasi terhadap seberapa baik para peserta mengingat kata-kata baru setelah itu,” tambah Kimppa.

Melalui penelitiannya, Kimppa berhasil menelusuri bagaimana latar belakang bahasa para relawan dapat mempengaruhi formasi jejak memori dan proses mengingat mereka.

Selain itu, ada respons baik pada beberapa kata-kata asing baru pada relawan yang sebelumnya memiliki pengalaman dalam bahasa asing.

Artinya, penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan fleksibilitas otak dalam mempelajari sesuatu dengan fonologi lisan.

Baca juga: Belajar Bahasa Asing Selama Karantina dan Bagaimana Memulainya

Menariknya, hal ini juga terjadi pada anak-anak.

Selain para relawan dewasa, Kimppa memperhatikan kecepatan pembelajaran bahasa melalui volal pada anak berusia 9 hingga 12 tahun dengan kemampuan membaca normal dan disleksia.

Anak yang membaca normal menunjukkan respons lebih cepat setelah diberi paparan pasif selama enam menit.

Namun, anak yang mengalami disleksia memperlihatkan perubahan peningkatan kondisi otaknya melalui tes selama 11 menit.

“Ini menunjukkan bahwa metode ini memiliki kekurangan pada disleksia, sementara mereka yang tidak mengalami disleksia sama sekali tidak terpengaruh. Penderita disleksia mungkin membutuhkan lebih banyak pengulangan atau strategi pembelajaran lain untuk meningkatkan kemampuan syaraf mereka,” kata Kimppa.

Baca juga: Usia Ideal untuk Belajar Bahasa Asing

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com