Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/09/2021, 15:35 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Glorifikasi kebebasan Saipul Jamil yang dilakukan sejumlah stasiun televisi serta pelaku dunia hiburan di Indonesia menuai kecaman publik.

Pasalnya, mantan pedangdut itu adalah pelaku kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur, sehingga dianggap tidak seharusnya diterima kembali dengan mudah.

Tak pelak, media sosial riuh dengan berbagai kritik pedas termasuk dari sesama artis seperti stand up comedian Ernert Prakasa, hingga sutradara kondang Angga Sasongko.

Baca juga: 6 Langkah Tegas Komnas PA Kecam Penyambutan dan Kemunculan Saipul Jamil di TV

Kembalinya Saipul Jamil dalam berbagai acara tayangan televisi nasional juga dianggap tidak berempati dengan korban.

Pasca menjalani masa hukuman di penjara, lelaki ini bisa kembali hidup normal, namun trauma yang dirasakan penyintas tak bisa hilang.

Meski demikian, banyak pula yang berpendapat, pelaku kekerasan seksual seharusnya tetap bisa menata hidup kembali setelah menjalani hukumannya.

Alasan itulah yang dipakai sejumlah pihak untuk mendukung Saipul Jamil kembali tampil di panggung hiburan.

Namun, benarkah pelaku kekerasa seksual layak dimaafkan dan menjalani hidupnya kembali?

Lucia Peppy Novianti, M. Psi., Psikolog dari Universitas Gadjah Mada memberikan pendapatnya soal dilema ini.

Menurut dia, pelaku bisa dimaafkan jika pertimbangannya adalah kepatutan, norma, dan nilai agama.

Ajaran dalam prinsip tersebut memang menganjurkan manusia untuk saling memaafkan atas berbagai kesalahan yang dibuat.

Baca juga: Sikap KPI soal Saipul Jamil Jadi Bintang Tamu di Televisi

"Namun kita harus menyadari kalau memaafkan tidak sama dengan melupakan, jangan dijadikan ajang excuse atau membiarkan, dua hal yang harus kita lihat terpisah."

Demikian penuturan Lucia dalam perbincangan dengan Kompas.com pada Selasa (7/9/2021).

Dia menekankan, publik juga tidak mempunyai hak untuk melarang seseorang, termasuk pelaku kekerasan seksual, menjalani kehidupannya kembali.

Namun, dalam konteks publik, ada kepatutan norma sosial yang harus diperhatikan. Misalnya ada penyintas dalam komunitas sosial yang terdampak dari penampilan yang bersangkutan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com