Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/10/2021, 10:11 WIB
Hotria Mariana,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Kehamilan di kalangan remaja masih menjadi masalah di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Pasalnya, kondisi tersebut menimbulkan beragam risiko bagi ibu maupun bayi.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012 menemukan, angka kehamilan remaja usia 15-19 tahun saat itu mencapai 48 dari 1.000 kehamilan.

Temuan serupa juga dimuat dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2018. Hasilnya, sekitar 31 persen perempuan kala itu melahirkan pertama kali pada usia di bawah 20 tahun.

Fenomena hamil di usia remaja tak terlepas dari tren perkawinan anak di bawah umur. Berdasarkan laporan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF), pernikahan di bawah usia 18 tahun dialami oleh 1,2 juta remaja perempuan Indonesia pada 2018.

Baca juga: Mitos dan Fakta Seputar Stunting yang Perlu Diketahui Ibu Muda

Sementara, BPS menemukan, persentase pernikahan dini di Indonesia meningkat dari 14,18 persen pada 2017 menjadi 15,66 persen pada 2018.

Dampak hamil di usia remaja

Sobat Generasi Bersih dan Sehat (Genbest) perlu mengetahui bahwa remaja perempuan usia di bawah 20 tahun pada dasarnya belum matang secara fisik maupun psikologis.

Selain itu, kebanyakan remaja merasa belum siap menjalani peran sebagai orang tua. Karenanya, kehamilan pada usia tersebut menjadi masalah serius.

Guna menekan angka kehamilan di kalangan remaja, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengeluarkan aturan mengenai usia ideal untuk menikah, yakni minimal 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria.

Sementara, dari segi ilmu kesehatan, usia ideal wanita untuk menikah adalah 20-25 tahun karena dinilai telah matang secara biologis dan psikologis.

Aspek psikologis sendiri menjadi hal penting dalam menjalani pernikahan. Menurut psikolog Inas Zahra SPsi MPsi, kesiapan mental perempuan berkaitan dengan perkembangan otak bayi.

Baca juga: Mengapa Hamil di Usia Remaja Sangat Berisiko?

Ia menuturkan, otak depan atau prefrontal cortex yang punya andil dalam intelektualitas merupakan bagian otak yang terakhir berkembang. Intelektual tersebut berkaitan dengan cara berpikir matang dan kritis, termasuk dalam memecahkan masalah rumah tangga.

“Nah, prefrontal cortex baru terbentuk di usia 20-an atau rata-rata usia 21-25 tahun. Akibatnya, remaja hamil berisiko mengalami stres lebih tinggi karena belum siap menjadi seorang ibu,” jelas Inas dikutip dari laman Genbest.id.

Dari aspek biologis, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan, bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berisiko mengalami berat badan lahir rendah (BLBR) yang menjadi faktor penyebab anak stunting.

Bukan itu saja, kehamilan di bawah usia 20 tahun juga berisiko bayi lahir prematur dan mengalami kondisi neonatus yang parah.

Baca juga: Usia Ideal untuk Hamil dan Memiliki Anak Setelah Menikah

Sementara itu, remaja yang melahirkan pada usia tersebut rentan mengalami eklampsia, endometritis nifas, dan infeksi sistemik lebih tinggi.

Kehamilan remaja juga berisiko tinggi akan kematian ibu pascamelahirkan. Menurut artikel berjudul Resiko Kesehatan Pada Kehamilan Remaja pada laman Skata, pada tahun 2013, BKKBN mendata sebanyak 70.000 remaja meninggal usai melahirkan.

Kondisi tersebut dikarenakan tubuh remaja masih belum sempurna untuk mempersiapkan kehamilan dan menghadapi persalinan.

Menikah dan memiliki anak merupakan keputusan pribadi setiap orang. Namun, alangkah baiknya semua keputusan dipertimbangkan dengan masak demi kesehatan dan kesejahteraan kamu dan pasangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com