Oleh: Fauzi Ramadhan dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - Pada tahun 1859 di sebuah desa tanah Jawa, lahir seorang bayi laki-laki bernama Raden Kohar. Ia bukanlah bayi sembarangan, ayahnya saja bernama Raden Surowijaya, Bangsawan Ponorogo keturunan dari Raden Mas Adipati Brotodiningrat.
Meskipun datang dari keturunan darah biru, Raden Surowijaya memilih untuk menjalani hidup dengan merakyat dan membantu mereka. Ia lantas mengganti namanya menjadi Samin Sepuh agar lebih dekat dengan rakyat.
Selain membantu rakyat, Samin Sepuh menciptakan gerakan moral sebagai pedoman dalam masyarakat yang juga sekaligus alat untuk melawan pemerintahan Hindia Belanda kala itu.
Raden Kohar, yang kemudian tumbuh besar menjadi dewasa, memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya dalam membantu rakyat miskin. Seperti ayahnya, ia juga mengganti namanya menjadi Samin Surosentiko. Ia lantas meneruskan gerakan moral yang diprakarsai ayahnya.
Mengutip National Geographic Indonesia, di tangan Samin Surosentiko, ajaran dan gerakan moral ayahnya semakin berkembang pesat hingga dapat diterima masyarakat. Bahkan, di era penuh disrupsi modern ini, gerakan moral yang disebut Ajaran Samin ini masih eksis.
Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi Kompas.com, berkesempatan berdiskusi dengan Mbah Pram, generasi keempat Samin Surosentiko, dalam episode “Kisah Awal Mula Sedulur Samin dan Keberadaannya di Indonesia” siniar (podcast) Beginu.
Mengutip dari Kompas Travel dan Dirjen Kemendikbud RI, secara garis besar, ajaran Samin Surosentiko dibagi menjadi tiga ajaran, yaitu angger-angger pratikel (hukum tindak-tanduk), angger-angger pangucap (hukum berbicara), dan angger-angger lakonana (hukum perihal apa saja yang harus dilakukan).
Baca juga: Gerakan Samin, Melawan Kolonialisme Belanda tanpa Kekerasan
Pada dasarnya, ajaran ini menuntun pikiran dan perbuatan masyarakat untuk jujur. Selain itu, ada sifat-sifat yang harus dihindari masyarakat Samin, seperti jangan sampai bersifat drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), mbujuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), dan krenah (nasehat buruk).
Pangucap saka lima bundhelané ana pitu lan pengucap saka sanga bundhelane ana pitu.
Kutipan tersebut adalah pesan bagi masyarakat untuk meletakkan pembicaraan di antara angka lima, tujuh, dan sembilan. Angka tersebut hanyalah simbolik belaka, tetapi maksud sebenarnya adalah masyarakat diminta untuk menjaga mulut dari kata-kata tak senonoh dan menyakiti orang lain.
Lakonana sabar trokal, sabaré diéling-éling dan trokalé dilakoni.
Sama halnya dengan ajaran kedua, kutipan ini merupakan pesan bagi masyarakat untuk senantiasa sabar dan tabah dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kedua hal tersebut merupakan acuan utama ajaran ketiga ini ketika menghadapi suatu masalah.
Selain itu, kebahagiaan dan kesedihan juga bagian kodrati yang harus diterima oleh keduanya.
Masih dalam sumber yang sama, disebutkan bahwa kelompok pengikut Samin dulu dicap sebagai orang yang tidak jujur pada abad ke-18 oleh pemerintah Hindia Belanda. Citra buruk yang disematkan ini membuat mereka lebih senang dipanggil Sedulur Sikep hingga sekarang.